Pertanyaan ini muncul begitu saja.
Kenapa untuk pengambilan keputusan atas beberapa hal yang sifatnya mendasar dan bahkan menjadi bagian dari hak asasi seseorang, harus begitu mudah diintervensi oleh orang-orang di sekeliling si empu masalah?
Baru saja aku bicara sama cowok yang begitu gelisah. Dia punya posisi pekerjaan yang bagus tapi belum menikah. Si cowok ini merasa gengsi dengan teman-teman yang notabene adalah bawahannya dan berusia hampir sebaya. Pasalnya para teman ini suka olok-olok kenapa si cowok ini belum nikah juga, padahal materi cukup, pekerjaan sedang menggapai kemapanan, punya pacar yang dia rasa sebagai labuhan hati. Alhasil, si cowok merasa "terhina" dengan olokan ini.
Yang aku engga tega untuk tanya sama cowok ini karena egonya yang terluka oleh "hinaan" teman-temannya :
Kenapa dia harus menyetarakan standar hidupnya dengan orang di sekelilingnya?
Bukan berarti karena mayoritas teman2nya sudah berumahtangga, dia harus ikut memaksakan diri menyamakan posisi. Toh, dia sedang merintis ke arah itu. Tapi aku rasa akselerasi perwujudan rencana once in a lifetime semacam ini tidak semestinya disusupi oleh celetukan-celetukan kecil yang tidak bertanggung jawab seperti ini. Siapa tahu teman-temannya menyentil ego si cowok hanya untuk menutupi ada sejumput ketidakmampuan mereka untuk menyamakan standar "pekerjaan" dengan si cowok. Mereka tak puas dengan ke-subordinate-an itu lalu berusaha untuk mencari sisi lebih mereka dibanding si cowok itu.
Jadi, kenapa selalu sibuk membandingkan standar diri dengan orang lain?
PS : si cowok itu pasti enggak bakal baca posting ini dan aku juga engga bakal melontarkan pertanyaan yang buat dia begitu sensitif. Jadi, ini tinggallah sebuah posting yang siap dikomentari. Ayo para lelaki,... mana suaramu?
4 komentar:
Gw gak masup dalam wacana ini deh.. ini kejadiannya di dimensi mana seeh??? huahahaha...
setuju bgt ma tulisan ini.. gian ngapain sih orang ikut2n standar yg ada kalo bahagia. Kalo orang2 merid terus pada merid, kalo orang2 make clana dalem di kepala jadi standar, pada make clana dalem di kepala gitu... gian gue dan oom di atas ini termasuk yg ga terlalu percaya lembaga perkawinan, kata beliau yg di atas pernikahan itu cuma legitimasi, biar kalo lagi nginep di hotel tiba2 digerebek bisa ngasih surat sakti itu. tapi sejak kapan buku kawin dibawa kmana2 oom?
kalo dipaksa orang, jangan mau. tapi juga sepertinya nggak perlu musingin orang yang maksa. kalo memang mau, nikah aja. kalo belum mau, ya jangan.
omongan orang lain nggak bisa diambil sebagai patokan. maksudku, jangan terlalu dimasukin hati. tapi juga jangan mati hati. artinya, dengerin orang, tapi jangan selalu diturutin. gituh. (mbulet!)
btw, kalo kepercayaan pada lembaga perkawinan... itu tergantung dari siapa dan apa yang 'dipegang' ya..?!
dalam sistem keagamaan, perkawinan juga salah satu jalan menyempurnakan tugas hidup. permasalahan kebutuhan seksual itu cuma jadi salah satu bagian dari lembaga perkawinan itu sendiri (tapi penting).
kalo dari segi hedon, ya lain lagi. karena... (aduh lupa mo nulis apa :">)
Posting Komentar