Dia lagi. Kulihat matanya begitu sendu. Menatap merayu langit untuk menghiburnya. Meratap pada angin agar tak henti mempermainkan ujung-ujung rambutnya yang hitam berkilau. Kulitnya begitu bersih, cantik, seperti ada kristal terpental saat matahari menyentuhnya. Tangannya erat menggenggam boneka cantik berambut pirang dan berbola mata biru. Ada gaun lebar berenda membalut tubuh mungil yang tergamit lengan ramping itu. Seakan kiamat akan tumpah ruah saat boneka itu lepas dari genggamannya.
Aku masih berjongkok di sini. Berteduh pada tanaman yang layu di ujung kemarau. Kuning daunnya rontok satu menyentuh pelipisku. Nona besar itu tetap berdiri. Kukuh tangannya menggenggam seulir besi tempa balkon yang dicat tembaga. Gaun putihnya terkibar-kibar. Wajahku langsung memerah saat sepasang paha malu-malu tertangkap indera. Seperti karya cipta porselen, cantik tapi rapuh, menggoda untuk disentuh.
Wajahnya kenapa jadi semendung itu? Apa ia menantang matahari yang sedang cerah-cerahnya kini? Mengapa tak juga kulihat sedikit senyum? Semestinya ada seulas lekukan di bibir molek itu. Tapi semuanya seperti tersedot oleh pusaran gelap yang merajai hatinya. Entah apa itu.
Ah, aku jadi tertunduk. Matanya menghujamiku. Pasti dia marah karena aku berani diam-diam mengaguminya. Saat kulihat kembali, matanya bergeming dengan setitik kabut melayari. Ah, ada kesedihankah di sana? Bolehkah sepasang tanganku yang kotor dan kasar ini menarikmu keluar dari belitan gundah yang tak henti merajam? Dia tak putus membisu. Yang terdengar malahan sorak sorai nakal, suitan bandel, dan teriakan cabul. Aku makin merah padam. Sampai mati takkan kau dapatkan bidadari itu, celetuk salah satunya. Aku lirik dia, dia tetap diam.
Dasar orang kampung, umpatku pada mereka. Orang kampung tolol, pantas saja kalian jadi kuli bangunan! Teriakku dalam hati.
Ah, lihat, dia jadi tersinggung. Aku hanya sempat melihat ujung gaunnya meliuk ditelan pintu dorong kamarnya. Apakah dia marah? Jangan-jangan malah menangis? Atau cuma tertawa miris mendengar candaan kampung barusan? Ah, nona besar yang tinggal di rumah besar, kenapa pergi? Aku menelan bulat-bulat kecewaku, bahkan makin menajam saat mandor tambun itu tak henti memuntahkan perintahnya.
***
Bintang, kenapa selalu datang di kala aku sudah kehabisan tenaga untuk menikmati indahmu? Malam yang sunyi selalu jadi hiburanku setelah lelah dihajar oleh pekerjaan. Angin membelai tubuhku yang tipis tapi uratnya nyata bertonjolan, kelam dibakar garangnya lentera dunia.
Kerinduan menyusupiku. Kerinduan tentang apa? Kampung halaman? Kisah masa lalu? Kenangan yang tak pernah lekang? Aku tak pernah bisa menggambarkannya lagi sejak pertama kulangkahkan kaki di kota yang bengis ini. Aku dikejar waktu, serasa tak cukup detik mengertik, aku selalu tertinggal. Dan aku makin lelah.
Aku terduduk segera. Pintu dorong di balkon itu tergeser. Nona besar kembali menyapa malam. Gaunnya masih putih walau rendanya lebih sedikit dan kainnya lebih tipis. Lekuk pinggulnya sesekali terpahat kala gaunnya mengerjap diterpa angin malam. Matanya masih menatap langit. Entah apa yang dicarinya pada padang maha luas itu. Kedamaian. Jawaban atas pertanyaan. Curahan kesedihan. Gelegar kemarahan. Guratan kekecewaan. Ah, wajah itu terlalu cantik untuk menyimpan sejuta dilema.
Kalau saja tanganku bisa terulur menggapainya. Jika di antara aku dan dia tak ada jurang curam penuh onak, aku akan memanjat dinding rumahnya hanya untuk sekedar mengecup bibirnya yang mungil. Mengelus rambutnya. Menggenggam jemarinya. Menenggelamkannya pada satu pelukan yang melindungi. Tapi kenyataanku pedas menampar. Bajuku terlalu kotor dan lusuh, bau semen dan wangi cat tembok. Belum lagi sisa keringat yang sudah mengerak dan debu yang menaburi. Apa pantas menjamah sosok indah itu? Mengecup matanya agar kesedihan lenyap ditelan kelam.
Nona besar memandangku. Tangannya belum lepas dari boneka Eropa itu. Bahkan boneka itu lebih elok dariku. Dia membelai rambut sang boneka seperti aku yang sedang dibelainya. Memang khayalan bisa melempar kita jauh ke angkasa. Begitu ringan tanpa beban.
Nona besar memejamkan matanya sebentar. Menyerap seluruh energi di semesta yang terpusat, lalu pelan-pelan dihembuskan menyebar menjadi partikel-partikel kecil. Dia menatap langit sekali lagi. Mengeratkan pelukan bonekanya. Seperti ada satu niat yang telah dipatrikan di kalbu yang entah ada di mana.
Hatiku tergerus saat mata nona besar menghujam menjadi lembut. Bagaimana bisa kesedihan itu jadi sirna saat dirinya menatap langit? Atau jangan-jangan dirikulah yang membuatnya jauh lebih kuat? Ah, kacung rendahan seperti aku mana bisa mempesonakannya. Mengeja tulisan saja sudah menghabiskan seluruh tenagaku, apalagi meraih hati seorang nona besar. Mimpi! Pergilah jauh-jauh dariku, mimpi!
Dan pintu dorong itu sekali lagi menelannya kembali dalam singgasana. Mungkin dia kembali ke ranjangnya yang empuk, menciumi wangi seprai yang segar mawar, membelai bantal berbulu angsa dengan selimut yang menghangatkan tiap porinya. Dan aku jatuh terbanting di atas hamparan kardus di tanah kasar. Bau semen masih menyergap. Mengingatkanku besok pagi masih banyak tembok bata yang harus dilulur. Dingin pun makin menusuk walau sehelai sarung kupaksa menutup tubuh ringkih ini.
Semoga saja aku bermimpi tentang kerinduan yang belum bisa kujabarkan sampai saat ini.
***
Nafasnya wangi berhembus melambai hidungku. Bisikannya gemulai di telingaku. Mendorong syaraf-syaraf menggeliatkan kelopak mata. Jantungku menggedor-gedor rangka hampir menjebol keluar. Darahku menderas berkali-kali lebih cepat.
Nona besar berdiri di tanah tempatku berpijak, bukan lagi di sangga balkon angkuh itu. Wanginya semerbak. Wajahnya begitu membekukanku.
“Katakan kau mencintaiku,”
“Katakan kau menginginkanku,”
“Katakan tak sedetik pun kau bisa melupakanku,”
Nona besar menatapku lembut. Dengkulku kupaksa bangkit, getarnya tak juga mereda. Dia ada di hadapanku. Apa cuma mimpi? Tapi dinginnya tak kurang menggigit. Bibirnya mengucapkan serentetan kalimat seperti mantra yang mengikatku.
Bibirku hanya bergerak-gerak. Tenggorokan seperti kadaluarsa tanpa suara. Kulihat teman-temanku. Semua terlelap. Tak ada satu pun yang menyadarinya.
Satu persatu dilepaskannya semua. Jubah tidurnya yang terbuat dari satin. Aku tersentak. Tubuh moleknya ada di hadapanku. Aku menahan napas saat gaun tidur brokat warna gading itu luruh dicium bumi. Semuanya seperti terjebak dalam gerakan lambat. Bahkan aku bisa mendengar degup jantungnya. Juga jantungku. Tubuhnya seperti batu pualam yang dipahat dengan seksama. Benar-benar mahakarya sang pencipta.
“Apa kau tak ingin memilikiku?”
Ya! Aku mau! Gila kalau aku menolak! Tapi itu hanya tersendat sampai ujung lidah. Aku malah mundur selangkah. Kerinduan yang sedetik lalu tak henti untuk diartikan mulai menjeratku. Bayangan-bayangan dengan cepat silih berganti memenuhi benakku. Membuatnya sesak.
Aku jatuh terduduk. Tubuh polosnya menggigil diterpa angin. Dia menatapku penuh harap. Menatapku meminta iba. Jamahlah aku, sentuhlah aku! Mungkin itu arti tatapannya.
Dia menangis. Air matanya berleleran. Tubuhnya berguncang. Aku ingin menghiburnya. Badanku telanjur beku. Aku hanya diam menatapnya. Ia makin mengisak. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku benar-benar tolol. Bahkan aku tak mampu menggerakkan kaki untuk mengejarnya ketika sosoknya menjauh. Lenyap dalam sekejap. Ditelan pintu jati yang kokoh dengan gerendel emas.
***
Ah, matahari tak jua makin ramah. Sinarnya menyengat. Pasti sudah tengah hari. Kenapa tak ada yang membangunkanku? Kepalaku agak pening. Tubuhku serasa berat. Terhuyung-huyung aku mencari teman-temanku. Mereka bergerombol. Bercanda. Rupanya mandor bongsor itu absen. Kami jadi bisa bekerja lebih santai.
Aku tak memusingkan itu. Aku memikirkan semalam. Apakah itu mimpi? Atau kenyataan yang terwujud begitu ajaib? Nona besar datang menghampiriku. Menyerahkan seluruh dirinya tanpa kecuali. Apa artinya? Aku seperti dibebat oleh kerinduan di hati yang tak bisa disusun dalam runut aksara.
Rumah besar di hadapan proyek rumah yang sedang kukerjakan terlihat beberapa orang lebih banyak dari biasanya. Apa nona besar sedang mengadakan hajatan? Aku ingin menghambur ke sana. Mencari tahu apa.
Dan dalam sedetik semuanya menjadi jelas. Nona besar keluar gerbang yang selama ini mengungkungnya. Dengan balutan kebaya brokat sulaman benang emas, konde besar bertahta kembang goyang dan ronce melati. Di sebelahnya menggamit seorang lelaki setengah baya dengan beskap berwarna sama lengkap dengan blangkon dan keris di punggung. Matanya tak juga berhenti menatap mata nona besar seperti hendak melumatnya. Perutnya yang bergelambir ikut bergoyang senang menerima ucapan selamat. Mata nona besar yang lentik basah. Leleran sendunya melunturkan maskara hitamnya. Dia menatapku. Seperti ada sejuta penjelasan memberondongiku. Aku tertegun. Kenapa mata itu masih berteriak minta iba padaku?
Tangan nona besar terangkat. Masih menggenggam boneka berambut pirang yang bergaun renda putih. Dilemparnya ke arahku sekuat tenaga. Ujung hidungnya yang mancung mencium jempolku. Nona besar tak melihatku lagi saat jaguar hitam itu menelannya.
Kuraih boneka itu. Kulihat mobil itu yang terus menjauh. Kutatap keduanya bergantian. Ada sesak yang menghimpit dadaku. Namun, perlahan mulai melega kembali. Boneka ini cantik sekali. Pasti si Eneng suka jika kubawa pulang. Bukankah dia tak henti merengek minta dibelikan boneka? Upah kuliku belum tentu bisa membelikan yang sebagus ini. Semoga saja ibunya Eneng tak banyak tanya asal boneka ini. Langit di atas masih terik. Aku mulai menghitung hari untuk menjejakkan kaki di rumah petakku. Memeluk anak semata wayang yang kegirangan oleh hadiah dari kota. Itukah kerinduanku selama ini?
***
Tangerang, 26 November 2004
Muat Harian Riau Mandiri tgl. 28 November 2004