Cerpen ini dimuat di harian Koran Tempo, Minggu, 13 Oktober 2013
Aku
tidak ingat pasti, kapan berkenalan dengannya. Mungkin setahun lalu, atau enam
bulan silam, entah. Waktu terkadang sering memanjang dan memendek tanpa
permisi. Saat itu, aku hanya duduk menikmati sandwich di sebuah bangku panjang. Siang itu, siang yang sama
membosankannya. Bocah-bocah berlarian, dengan pekik-pekik girang, yang dengan
cepat kuabaikan. Kupu-kupu melayang-layang, berpadu sempurna dengan aroma
rumput basah bekas hujan dini hari. Dan dia datang, seperti meletup muncul
begitu saja, di hadapanku, memintaku membeli selembar kartu posnya.
Awalnya
aku mendongak, dengan sandwich masih
tergenggam di tangan dan dahi berkerut. Reaksi paling wajar seorang wanita yang
duduk sendiri dan dihampiri lelaki asing, tentu saja mendirikan tembok benteng
setinggi-tinggi, setebal-setebal, sekokoh-kokohnya. Aku tidak suka bertemu
dengan oran g
baru. Pernah dengar pepatah, setiap oran g datang ke hidupmu
dengan membawa koper masa lalunya. Siapa yang tahu apa isi oran g ini. Mungkin berlembar-lembar foto
kenangan, setoples kunang-kunang jelmaan kuku pacarnya yang sudah mati, atau
rangkaian bola mata oran g-orang
yang pernah menyakitinya, diuntai menjadi sebentuk syal penghangat tubuh. Aku
bergidik, tapi wajah di depanku tetap tenang menawariku membeli selembar kartu
pos.
“Kartu
pos ini saya lukis sendiri,” ujarnya.
“Kenapa
tiba-tiba anda menawari saya kartu pos? Saya tidak mengenal anda,” jawabku
ketus, berharap lelaki gila ini cepat pergi.
Dia
malah duduk di sampingku. Senyumnya mengembang, seperti pelukan yang merentang.
“Karena saya melukis kartu pos ini untuk anda.”
Tangannya
terulur. Selembar kertas mengilap berukuran 12x23cm, menunggu tanganku
menyambutnya. Dahiku makin berkerut. Apa maunya oran g ini?
Dari
ujung mataku, kulihat gambar yang diakunya dilukis untukku. Mungkin gambar
rangkaian bunga, atau pemandangan pantai, atau semburat senja di bangunan tua
yang artistik, seperti khas kartu pos pada umumnya. Napasku terhenti saat itu
juga. Sebuah gambar, perempuan berkaus tanpa lengan dan celana pendek putih,
meringkuk di sudut ruang, dengan jendela terkuak lebar dan tirai berkibar,
disambar angin. Dia tertunduk dalam helai kelam rambutnya, seakan
menyembunyikan rinai air mata yang menenggelamkan wajahnya.
Tanpa
sadar tanganku terulur, menarik kartu pos itu darinya. Kuperhatikan gambar itu
makin erat. Ada
bilur-bilur biru di sekujur lengan dan kaki perempuan itu. Gurat-menggurat tak
beraturan. Makin kulihat, makin nyata lebam di sekujur tubuhnya, makin nyaring
isak tertahannya, makin gela p
langit yang dibingkai jendela. Tanpa sadar, aku meraba lengan kiriku yang
tertutup blus lengan panjang. Masih tersisa nyeri yang berdenyut-denyut di sana .
Pikiran
cepat berkelebat. Semalam kekasihku pulang ke apartemen, dengan rambut kusut
masai dan dasi menggantung selonggar mungkin. Tas, sepatu, kaus kaki, dan dasi
berterbangan ke segala sisi, termasuk tampa rannya.
Sudah lama dia menggantikan ciuman dengan pukulan, terlalu sering, sampai
akhirnya aku terbiasa.
Pekerjaannya
hari ini tak sempurna. Dan dia menyalahkanku yang juga tak sempurna
menghidupkan cintanya. Bahkan ketika dia mencumbuku, dengan pagutan setan,
lebam-lebam mulai menghiasi tubuhku. Di ujung malam, dia menden gkur tanpa beban. Menyisakan aku yang
meringkuk di bawah jendela yang terkuak lebar, dengan tirai berkibar di sambar
angin. Persis kucing yang menjilati lukanya sendiri, kucoba obati nyeri dengan
air mata.
“Kartu
pos ini…, kenapa anda menggambar ini?” tanyaku menoleh ke lelaki itu.
Hanya
desau angin yang menjawabku. Dia entah pergi ke mana, seakan tak pernah ada.
Aku melemparkan pandangan ke sekeliling. Bahkan aku menangkap tangan seorang
anak, dan kutanya apa dia melihat laki-laki yang menawariku kartu pos. Anak itu
hanya menggeleng, setengah ketakutan.
Aku
menarik napas. Kulihat lagi kartu pos itu. Hatiku mencelos. Aku bahkan belum
bertanya siapa nama lelaki itu.
***
Kini
setiap siang, aku selalu makan siang di bangku panjang itu. Sengaja aku
mengunyah lamat-lamat, agar waktuku habis lebih lama, agar aku bisa bertemu
dengan lelaki kartu pos ini. Nam un,
nihil. Dia tidak datang lagi. Semakin aku berharap bertemu dengannya, semakin
lesap kenya taannya.
Di
sebuah siang, saat baru saja kutandaskan sandwich
terakhir, ibu mengirimiku pesan pendek. bapak
operasi jantung hari ini, datanglah. Aku menghela napas. Jika pilihannya
menjadi anak yang berbakti atau menuruti sakit hati, aku sungguh kehilangan
arah.
Dan
suara lembut itu kembali, nyaris membuatku terlonjak, menawariku kartu pos
seperti kala itu. Kali ini pelan kutelisik penampilannya. Dia tampa k sederhana dengan baju hangat hitam, jeans,
dan sepatu pantofel. Kacamata retro membingkai wajahnya yang tegas, dengan
rambut halus bekas bercukur. Aku tidak tahu seperti apa rambutnya karena topi
pet kelabu menutupi kepala.
“Kali
ini, apa yang anda gambar?” tanyaku ragu.
Dia
tersenyum lagi. Lengkungnya mengingatkanku pada bulan sabit. Kuterima kartu pos
itu dengan ragu. Hatiku berlompatan ke sana
kemari, mencoba menebak apa yang tergambar di sana .
Kartu
pos itu bergetar di tanganku. Mataku mengabur. Aku mengerjap beberapa kali,
memastikan benar apa yang kulihat. Seorang ibu memeluk anak perempuannya yang
sekuat tenaga memejamkan mata, sama-sama saling mendekap, saling
mengumandangkan doa di dalam hati. Lelaki tegap mengayunkan lengan besar
berbulu, seperti tukang kayu yang menetak bongkah-bongkah kayu bakar. Wajah-wajah
yang tergambar di sana
tak asing, seakan melompat dari tumpukan masa lalu yang berdebu.
Tanganku bergetar makin hebat. Air mataku berjatuhan,
mencurah tanpa izin. Aku menoleh ke arahnya. Kali ini dia tidak menghilang. Dia
tetap duduk tenang dengan mata tepat menembak ke arahku.
“Siapa anda? Kenapa anda melukis gambar ini dan menjualnya
pada saya?”
Dia bergeming, seakan tahu bahwa aku punya jawabannya.
Dadaku makin sesak dengan kenangan masa kecil yang
mendesak-desak. Bapak yang pemarah, yang matanya bergelimang merah, yang
tangannya siap terulur menyambar apapun yang bisa meredakan badai di hatinya.
Pipi ibu. Lengan ibu. Punggung ibu. Apapun yang ibu punya. Termasuk aku. Luka
yang dibuat bapak di tubuh kami memang cepat sembuh, tapi tidak di batin kami.
“Saya harus bayar berapa untuk kartu pos ini?” tanyaku
menoleh. Seperti sebelumnya, seharusnya sudah bisa kutebak, dia tidak lagi di sana .
Lelaki macam apa yang meninggalkan perempuan menangis
seorang diri?
Namun, perempuan macam apa aku ini, yang mencari kedamaian
dalam selembar kartu pos?
***
Di sana
aku mendapatinya, di atas ranjang yang seprainya setiap pagi kutata secantik
mungkin agar dia bahagia, mencumbu perempuan lain, di balik selimut yang sama
yang menutupi tubuh kami satu malam lalu. Kekasihku tergeragap, menyampirkan
selimut ke tubuh molek di sisinya. Aku mematung, berusaha menemukan reaksi
paling tepat. Marah. Histeris. Menjerit. Menangis. Namun, aku bergeming.
Di tanganku tersembul selembar kartu pos. Aku bahkan belum
menggigit sandwich-ku saat lelaki
kartu pos itu datang. Wajahnya selalu tenang saat dia menawariku kartu pos
ketiga. Aku mulai mengira-ngira harus kubayar berapa untuk ini semua, tapi
kesadaranku teralihkan saat melihat apa yang dia lukis di sana kali ini.
Kekasihku memagut perempuan lain. Di ranjang kami. Dibalut
selimut kami. Dengan gairah yang lebih membakar, bahkan terlalu membara sampai-sampai
bisa menyulut api di dadaku. Aku langsung bergegas menuju apartemen, tak
memedulikan lelaki kartu pos yang duduk di sana , mungkin menanti beberapa lembar rupiah
untuk ketiga kartu posnya yang kini kupunyai.
Dan benarlah. Apa yang digambarkan di kartu pos seakan
menjelma di hadapanku. Ngeri merayapi tengkukku. Seharusnya aku merinding membayangkan
gambar-gambar di kartu pos seorang lelaki misterius yang mendatangiku di taman
saat makan siang. Setiap gambarnya begitu nyalang melukiskan diriku, seakan dia
mengenal dan menyaksikan semuanya sendiri. Seharusnya aku ketakutan tiap dia
datang mengulurkan kartu posnya, karena gambar yang dia lukis di sana adalah nyata yang
coba kukubur. Mirip bangkai. Bukankah mengerikan, bila ternyata ada oran g asing yang lebih mengenalmu, ketimbang dirimu
sendiri?
Tapi aku malah berdiri, menantang kekasihku yang tubuhnya
dua kali lebih besar dariku. Badanku mengeriput takut, seakan hafal
kebiasaannya, tanpa perlu kuperintah. Semua jejak memar, bekas luka, telah
terpindai dan terekam sempurna. Namun, aku bergeming. Membiarkan dia menarik
tubuhku, mencengkeramku, melemparkanku ke segala arah. Sakit mulai merambat ke
sepenjuru tubuh. Namun, itu semua seakan tak bisa membalut nyeri di hati
sendiri. Ini nyeri paling purna, membuat empunya mati rasa.
Di kepalaku melayang-layang banyak pertanyaan.
Kenapa aku?
Kenapa seperti ini hidupku?
Kenapa aku mencintai dengan cara ini?
Siapa lelaki kartu pos itu?
Apa maksud gambar-gambar di kartu pos yang dia bawa padaku?
Sepasang mata tenang lelaki kartu pos itu, benin g mirip permukaan danau yang entah menyimpan apa,
memenuhi benakku yang kosong. Awalnya satu, lalu jadi dua. Dari dua berlipat
empat. Makin lama, makin cepat beranak pinak, memenuhi kepala. Ketenangan itu,
kedamaian di matanya, bisakah aku memilikinya?
Tanganku terulur, bahkan sebelum otakku memerintahkan. Yang
pertama kuraih, adalah pajangan porselen sebesar bayi, yang dibawa kekasihku
sepulang perjalanan dinasnya dari Cina. Benda pertama yang dia bawa saat dia
pindah ke apartemenku, bertahun-tahun lalu. Saat cinta masih berupa tunas, yang
kutanam bersama harapan-harapan. Betapa miris, melihat bagaimana kami dulu
saling mencintai, dan kini saling menyakiti.
Selanjutnya yang kuingat, hanya suara-suara yang saling
bertindihan. Derak benda pecak. Erangan yang memenuhi udara. Pekikan yang
membelah hening. Debam tubuh tersungkur di lantai. Serta tarikan napas lega, di
dalam dadaku sendiri, untuk pertama kalinya.
***
Sebuah
lampu sorot tergantung, mengayun-ayun, berusaha sekuat tenaga memendarkan
cahayanya yang lemah ke penjuru ruang remang ini. Entah sudah berapa lama aku
duduk di sini. Juntai rambutku mulai terasa kering. Ujung-ujungnya mencuat di sana - sini. Ujung-ujung
jariku mulai membeku. Kuraba dadaku sendiri. Ah, ternyata masih ada detaknya.
Artinya aku masih hidup. Namun, hidup seperti apa yang aku jalani? Apakah aku
akan kembali membuat keputusan-keputusan yang salah, yang menenggelamkan diri
dalam jalan yang salah, yang memaksaku tetap menjalani, karena kukira itulah
yang Tuhan ingin aku jalani sebagai hukuman?
Pintu
di depanku terbuka. Seorang pria muncul, seakan dimuntahkan dari kegelapan.
Sejenak kukira dia lelaki kartu pos yang menawariku kartu pos keempat. Ternyata
bukan. Hanya lelaki asing, dengan kumis dan cambang rimbun melintangi wajah,
dalam seragam apak berwarna cokelat tua.
“Bisa
anda jelaskan kejadian siang itu, bersama kekasih anda?”
Berapa
harga yang harus kubayar untuk tiga kartu pos, yang gambarnya dia lukis dengan
tangannya sendiri itu?
“Dengan
pecahan beling terbesar, anda menikam…,”
“Anda
menden garkan pertanyaan saya?”
Kutatap
bayanganku sendiri, di cermin salah satu sisi ruangan. Buram memang, tapi
sepasang mata tenang itu mendadak kudapati di sana .
Lelaki kartu posku. Senyumku pelan mengembang.
“Aku
ingin mengirim kartu pos,” ujarku dengan senyum merentang, persis pelukan.
“Kartu pos yang kulukis sendiri.”
Pria
di depanku mengernyitkan dahi tak mengerti. “Mau anda kirim untuk siapa?”
Kini
aku tahu, bagaimana harus kubayar ketiga kartu pos itu. Seperti ada
tangan-tangan tak kasat mata melukis di benakku. Gambar-gambar bertumpukan, warna-warna
melintang pukang, kusut tapi ind ah. Aku
memejamkan mata, dengan satu tarikan napas, aku membukanya kembali. Tatapan
mataku yang tersembul di pantulan cermin, ah, seharusnya aku tahu kenapa lelaki
kartu posku itu tidak lagi terasa asing.
“Untuk
siapa saja. Apa anda ingin membeli kartu posku?” tanyaku, dengan kilat mata
tenang, persis permukaan danau yang entah menyembunyikan apa di dalamnya.
***
GM, 5 Juli 2013