dimuat di Tabloid Nova no.1374/XXVII 23-29 Juni 2014 |
Bertahun-tahun
aku bertetangga dengan Mak Ndari, tak sekalipun aku melihat dia tinggal bersama
orang lain. Sepertinya dia lebih tua dari ibuku. Kutebak itu dari rambut kelabu
dan kerut yang persis akar rambat menjalari wajahnya. Namun, jangan minta aku
menerka siapa suaminya, berapa anaknya, dan di mana mereka kini. Kisah hidup
Mak Ndari sama seperti pintu rumahnya; selalu rapat tak tercungkil, tak bisa
dimasuki.
Kami
bertetangga di sebuah jalan sepi, melengkapi keterpencilan kota kecil kami. Rumah yang dia tinggali ikut
menua bersamanya. Warna tembaga atapnya memudar. Dindingnya mengelupas di
beberapa sisi. Ada
noda-noda tak beraturan bekas bocor musim penghujan lalu. Aku selalu melewati
rumah berpagar setinggi dahi oran g dewasa itu
tiap hendak ke pasar. Yang terlihat hanya teras sepi penuh pucuk lidah buaya
dan kembang yang menggerumbul di pot-pot gantung. Jika beruntung, bisa kulihat
ujung kepalanya terangguk-angguk mengantuk di sandaran kursi malas. Terkadang
ia menyirami taman kecilnya. Bibirnya bersenandung, beriringan dengan semilir
angin, seakan hendak memecah kesunyian yang melingkupinya.
Aku tak habis
pikir, bagaimana dia bisa betah dalam hening seperti itu? Tanpa suami, tiada
anak. Sering aku tergoda membunyikan selot pagar rumahnya, lalu menanyakannya
itu.
Suamiku menanggapi
hal ini dengan kalem. “Kalau mau berkunjung, tinggal datang saja. Tak perlu
alasan.”
“Mungkin aku
bisa membawakannya pisang goreng? Menurutmu dia apa suka? Atau lebih baik ubi
rebus saja?”
“Entahlah.”
“Aku penasaran
apa Mak Ndari pernah menikah. Punya anak? Seperti apa masa mudanya dulu? Kura sa dia perempuan yang cantik. Lihat saja matanya yang
bulat besar dengan bulu mata lentik. Mata seperti itu pasti banyak melumpuhkan
laki-laki.”
“Perempuan
cantik tidak selalu kekasihnya banyak.”
“Pasti banyak
yang menggodanya. Rasa-rasanya dulu juga banyak lelaki yang menggodaku. Aku
rindu masa-masa itu.”
“Kau ingin
digoda laki-laki?” Alis matanya naik sebelah.
“Bukan dalam
konteks genit dan merendahkan. Rasanya menyenangkan jika menjadi pusat semesta
seseorang. Membayangkan hanya diri kita yang ada di pikirannya, membuatnya
tergila-gila dan berdebar. Seperti memasang kembang api di dada seseorang dan
meledakkannya. Dan kalau kupikir-kupikir…,”
“Apa?”
“Sudah lama
kau tak menggodaku.”
Begitulah
kami. Menikah sekian lama dengan sifat bertolak belakang. Watak rumit dan
sederhana jalin-menjalin seperti kepang anak perempuan kami yang makin kebas
dengan perdebatan konyol kami. Nam un, aku sangat
mencintai suamiku. Kurasa hanya dia lelaki yang betah meladeniku, yang selalu
merumitkan segalanya.
Itulah
sebabnya aku sungguh tak paham bagaimana Mak Ndari kuat hidup sendiri; tanpa dikelilingi
orang yang dicintai, dalam sebuah rumah yang ikut menua bersama dirinya.
***
Pagi itu
dadaku busung oleh niat bulat mengunjungi Mak Ndari. Tepat setelah suami dan
anakku berangkat, aku mandi cukup lama. Berbekal blus terbaik dan parfum aroma vanilla,
aku menuju rumah itu. Di tanganku tergenggam kota k
berisi pisa ng goreng yang hangatnya
menggigit-gigit kulitku. Ragu pun mulai tumbuh. Awalnya berupa tunas, tahu-tahu
sekejap merimbun oleh gentar kalau-kalau nanti aku diusirnya.
Kudentangkan
selot pagar yang bau karatnya menyodok hidung. Yang kali kedua lebih nyaring,
takut tak cukup terdengar. Penuh cemas, aku berjinjit mencuri lihat. Akhirnya
pintu itu berderit. Nyaris aku meloncat kegirangan melihat Mak Ndari datang.
“Ya?” Mak
Ndari berdiri di ujung teras dengan atasan putih dan rok batik yang lusuh. Rambutnya
digelung, menunjukkan leher yang mungkin di masa kejayaannya, mengundang banyak
lelaki tergiur mengecupnya.
“Kubawakan pisa ng goreng untuk Mak,” ujarku sesopan mungkin. “Mak
suka pisang goreng, kan ?”
“Kata siapa?”
“Siapa yang tidak
suka pisa ng goreng, Mak?” aku tersenyum
canggung.
Kami pun duduk
di teras. Ada gelembung penasaran yang nyaris meletus
di dada. Pintu rumahnya sedikit terkuak. Aku persis anak kecil yang menempelkan
muka di etalase toko permen. Seperti apa perabotan di dalam? Adakah bingkai
besar yang memasang foto Mak Ndari bersama suaminya? Kubayangkan Mak muda mengenakan
kebaya pengantin putih menggamit lengan kokoh seorang letnan berseragam lengkap
dengan mata tajam.
Pertemuan itu
berakhir dalam lima menit. Mak Ndari memindahkan pisa ng
goreng ke piringnya sendiri, lalu mengembalikannya kembali tanpa bicara. Nam un, sorot matanya menatapku penuh makna. Sekilas tangan
Mak Ndari terangkat hendak membelaiku, tapi diurungkannya. Tepat sebelum aku
pulang, dengan suara pelan sekali dia berkata, “Kemarilah lagi besok. Ganti aku
yang membuatkanmu pisa ng goreng.”
Ah, tak sabar
rasanya kuceritakan ini kepada suamiku yang tentu hanya berdeham tanpa
ekspresi.
***
Di hari-hari
selanjutnya, di teras itu akan tampak aku dan Mak Ndari, dipisahkan meja bundar
bertaplak rajut, penuh oleh kudapan dan minuman hangat. Mak Ndari tetaplah Mak
Ndari yang lebih suka diam. Akhirnya akulah yang banyak bercerita. Tentang anakku
yang beranjak remaja. Tentang resep baru yang kutemukan di majalah wanita.
Tentang masa mudaku yang tentu sedikit kubumbui agar lebih menggigit. Nam un, lebih sering aku mengadu tentang suamiku yang
terlampau tenang.
“Kenapa dulu
menikahinya?” tahu-tahu Mak Ndari bersuara.
Aku terdiam.
Jawaban pertama yang terlintas adalah karena cinta. Entah kenapa aku merasa
bukan itu jawaban yang dicarinya.
“Seperti apa
cintamu untuknya? Ada cinta yang meledak-ledak. Membuatmu
hidup hingga membakarmu hidup-hidup. Ada cinta
yang hening. Membuat hidupmu tenang sampai menenggelamkanmu dalam-dalam.”
“Mak sudah
lama hidup sendiri? Pernah jatuh cinta dan hidup bersama seseorang?”
Dia menyeruput
tehnya. “Aku berhenti jatuh cinta. Kuputuskan hidup dalam sepi. Kau kira kau beruntung.
Punya anak dan suami. Tapi apa jadinya kalau suatu hari kau terbangun dan
mereka tak lagi ada di sisimu. Kau pun sadar, selama ini kau sendiri, tak
pernah benar-benar memiliki seseorang untuk selamanya.”
Aku menelan
ludah membayangkannya. Kutatap bola matanya yang sendu. Ada kenangan
berenang-renang di sana . Apa dia pernah mengalami
kehilangan yang terlampau besar? Siapa yang melukainya sedalam itu?
“Mak tidak
takut hidup sendiri?”
“Kita lahir
sendiri. Mati juga sendiri. Mereka yang ada di sekeliling kita diciptakan untuk
pergi suatu hari nanti. Jadi apa gunanya hidup bersama seseorang? Lebih baik
sendiri sejak awal.”
“Dulu aku
sepertimu. Sebentar lagi kau yang akan sepertiku,”
Matanya
mengunci tatapanku. Binarnya mengilat, seakan dipulas lapisan kaca hitam yang
lama-lama meleleh. Meluber ke mana-mana, menularkan kesedihan. Tahu-tahu
kudapati tanganku, bahuku, rambutku, semuanya diselimuti selaput benin g kehitaman. Lama-lama mengerumuniku dalam hitam
sebenar-benarnya.
Seketika aku
meronta, cepat-cepat keluar dari sana . Kukibas
tangan berkali-kali, berusaha menghilangkan selaput yang membungkusku tadi.
Kulihat suamiku baru turun dari mobil. Langsung saja kupeluk dari belakang.
Kuhirup wanginya dalam-dalam. Awalnya dia meronta, tapi pelukanku yang makin
mengunci tubuhnya membuatnya pasrah.
“Kenapa kamu?”
tanyanya tenang. Dan aku menangis sejadi-jadinya.
***
Tak lagi
kuinjakkan kaki ke rumah itu. Bahkan kupercepat langkah tiap melewatinya menuju
pasar. Mak Ndari pun kembali mendekam dalam kesendiriannya. Nam un,
ucapannya seperti bibit kan ker yang tumbuh di
jiwaku. Kuperhatikan anak perempuanku. Semakin besar, semakin sering dia keluar
bersama teman-temannya. Mungkin tinggal menunggu waktu sampai kehidupan benar-benar
merenggutnya dariku. Suamiku, yang tak
pernah alpa mengecup keningku tiap berangkat kerja, hanya tertawa saat
kuberitahu ketakutanku kalau dia pergi tak kembali lagi.
“Kau ini,” dia
hanya mengusap rambutku dan mengecupku lebih dalam beberapa kali. Aku cuma
berani menangis di dalam dada, tak ingin membebaninya dengan sulur sepi yang
makin rimbun di kepalaku. Kurasa Mak Ndari berhasil membenamkan benih ketakutan
ditinggalkan. Kini aku tak tahu bagaimana menebas habis itu semua.
Kupandangi
punggung suami dan anakku yang menjauh setiap pagi. Sepanjang hari aku disiksa detik
jam yang berputar, bertanya-tanya apa mereka akan pulang. Aku cuma memikirkan
kepergian dan ditinggalkan; tentang sepi dan sendiri.
“Kau
benar-benar setakut itu kalau aku tidak pulang?” tanya suamiku di sela pelukku.
Kutatap matanya. Jernih tanpa prasangka; membuatku berpikir, apa dia tidak
takut kalau suatu hari aku akan meninggalkannya? Bahwa bisa saja aku yang pergi
dan dia hidup sendiri?
Kulepaskan
pelukan dengan hambar, membiarkannya beranjak ke kama r
mandi seakan tak terjadi apa-apa. Kulihat pula anak perempuanku. Keduanya
melesat makin cepat. Punggung-punggung mereka menjauh. Tiap kali kuulurkan
tangan untuk meraih mereka, seperti makin lebar bentangan jarak itu. Untuk
pertama kalinya aku merasa kosong. Sepanjang malam aku tak berani memejamkan
mata, karena tiap kali kulakukan itu, aku melihat Mak Ndari menatapku. Dia
benar. Sebentar lagi aku akan menjadi seperti dirinya. Menua dalam sepi.
Kami
berpapasan lagi suatu pagi. Mak Ndari membuang sampah di depan rumah dan aku hendak
ke pasar. Mata kami bertautan, menghantarkan dingin yang membuat bulu kudukku
meremang. Sayu mata penuh kesepian itu bersiap mengisapku.
Aku bergegas berbalik
arah, tak menoleh lagi. Dengan napas terengah, tanganku gemetar membuka pintu. Aku
disambut bayangan sendiri di pantulan jendela depan. Bayanganku tampak lebih
tua dengan rambut kelabu yang digelung rapi serta baju lusuh. Ia tersenyum
dengan tangan terulur. Bola matanya berpendar. Mengilat kelam, siap tumpah dan
menyambar tubuhku—menyelimutiku dalam sepi.
Aku segera
menelepon suamiku. Menyuruhnya berhenti kerja. Pulang detik ini juga dan tidak
pergi-pergi lagi seterusnya. Ah, juga anak perempuanku. Dia harus tetap tinggal
di sini, menghabiskan umurnya bersama ibu yang dia cintai.
Kau lihat itu,
Mak Ndari? Aku tak akan jadi sepertimu—seorang perempuan sepi yang tinggal di
ujung jalan.
***
GM, 15-17
April 2014
Ditulis dalam kenangan
sepupuku, alm. Devi Hardinata
dimuat di Tabloid Nova no.1374/XXVII 23-29 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar