Powered By Blogger

Senin, Juni 30, 2014

PEREMPUAN SEPI DI UJUNG JALAN

Photo: Silakan baca cerpenku "Perempuan Sepi di Ujung Jalan" yang dimuat di Tabloid Nova no.1374/XXVII 23-29 Juni 2014. Cerpen ini merupakan caraku berduka atas kepergian sepupuku, alm. Devi Hardinata. Semoga dia bahagia di sisi-Nya.
dimuat di Tabloid Nova no.1374/XXVII 23-29 Juni 2014
Bertahun-tahun aku bertetangga dengan Mak Ndari, tak sekalipun aku melihat dia tinggal bersama orang lain. Sepertinya dia lebih tua dari ibuku. Kutebak itu dari rambut kelabu dan kerut yang persis akar rambat menjalari wajahnya. Namun, jangan minta aku menerka siapa suaminya, berapa anaknya, dan di mana mereka kini. Kisah hidup Mak Ndari sama seperti pintu rumahnya; selalu rapat tak tercungkil, tak bisa dimasuki.
Kami bertetangga di sebuah jalan sepi, melengkapi keterpencilan kota kecil kami. Rumah yang dia tinggali ikut menua bersamanya. Warna tembaga atapnya memudar. Dindingnya mengelupas di beberapa sisi. Ada noda-noda tak beraturan bekas bocor musim penghujan lalu. Aku selalu melewati rumah berpagar setinggi dahi orang dewasa itu tiap hendak ke pasar. Yang terlihat hanya teras sepi penuh pucuk lidah buaya dan kembang yang menggerumbul di pot-pot gantung. Jika beruntung, bisa kulihat ujung kepalanya terangguk-angguk mengantuk di sandaran kursi malas. Terkadang ia menyirami taman kecilnya. Bibirnya bersenandung, beriringan dengan semilir angin, seakan hendak memecah kesunyian yang melingkupinya.
Aku tak habis pikir, bagaimana dia bisa betah dalam hening seperti itu? Tanpa suami, tiada anak. Sering aku tergoda membunyikan selot pagar rumahnya, lalu menanyakannya itu.
Suamiku menanggapi hal ini dengan kalem. “Kalau mau berkunjung, tinggal datang saja. Tak perlu alasan.”
“Mungkin aku bisa membawakannya pisang goreng? Menurutmu dia apa suka? Atau lebih baik ubi rebus saja?”
“Entahlah.”
“Aku penasaran apa Mak Ndari pernah menikah. Punya anak? Seperti apa masa mudanya dulu? Kurasa dia perempuan yang cantik. Lihat saja matanya yang bulat besar dengan bulu mata lentik. Mata seperti itu pasti banyak melumpuhkan laki-laki.”
“Perempuan cantik tidak selalu kekasihnya banyak.”
“Pasti banyak yang menggodanya. Rasa-rasanya dulu juga banyak lelaki yang menggodaku. Aku rindu masa-masa itu.”
“Kau ingin digoda laki-laki?” Alis matanya naik sebelah.
“Bukan dalam konteks genit dan merendahkan. Rasanya menyenangkan jika menjadi pusat semesta seseorang. Membayangkan hanya diri kita yang ada di pikirannya, membuatnya tergila-gila dan berdebar. Seperti memasang kembang api di dada seseorang dan meledakkannya. Dan kalau kupikir-kupikir…,”
“Apa?”
“Sudah lama kau tak menggodaku.”
Begitulah kami. Menikah sekian lama dengan sifat bertolak belakang. Watak rumit dan sederhana jalin-menjalin seperti kepang anak perempuan kami yang makin kebas dengan perdebatan konyol kami. Namun, aku sangat mencintai suamiku. Kurasa hanya dia lelaki yang betah meladeniku, yang selalu merumitkan segalanya.
Itulah sebabnya aku sungguh tak paham bagaimana Mak Ndari kuat hidup sendiri; tanpa dikelilingi orang yang dicintai, dalam sebuah rumah yang ikut menua bersama dirinya.
***
Pagi itu dadaku busung oleh niat bulat mengunjungi Mak Ndari. Tepat setelah suami dan anakku berangkat, aku mandi cukup lama. Berbekal blus terbaik dan parfum aroma vanilla, aku menuju rumah itu. Di tanganku tergenggam kotak berisi pisang goreng yang hangatnya menggigit-gigit kulitku. Ragu pun mulai tumbuh. Awalnya berupa tunas, tahu-tahu sekejap merimbun oleh gentar kalau-kalau nanti aku diusirnya.
Kudentangkan selot pagar yang bau karatnya menyodok hidung. Yang kali kedua lebih nyaring, takut tak cukup terdengar. Penuh cemas, aku berjinjit mencuri lihat. Akhirnya pintu itu berderit. Nyaris aku meloncat kegirangan melihat Mak Ndari datang.
“Ya?” Mak Ndari berdiri di ujung teras dengan atasan putih dan rok batik yang lusuh. Rambutnya digelung, menunjukkan leher yang mungkin di masa kejayaannya, mengundang banyak lelaki tergiur mengecupnya.
“Kubawakan pisang goreng untuk Mak,” ujarku sesopan mungkin. “Mak suka pisang goreng, kan?”
“Kata siapa?”
“Siapa yang tidak suka pisang goreng, Mak?” aku tersenyum canggung.
Kami pun duduk di teras. Ada gelembung penasaran yang nyaris meletus di dada. Pintu rumahnya sedikit terkuak. Aku persis anak kecil yang menempelkan muka di etalase toko permen. Seperti apa perabotan di dalam? Adakah bingkai besar yang memasang foto Mak Ndari bersama suaminya? Kubayangkan Mak muda mengenakan kebaya pengantin putih menggamit lengan kokoh seorang letnan berseragam lengkap dengan mata tajam.
Pertemuan itu berakhir dalam lima menit. Mak Ndari memindahkan pisang goreng ke piringnya sendiri, lalu mengembalikannya kembali tanpa bicara. Namun, sorot matanya menatapku penuh makna. Sekilas tangan Mak Ndari terangkat hendak membelaiku, tapi diurungkannya. Tepat sebelum aku pulang, dengan suara pelan sekali dia berkata, “Kemarilah lagi besok. Ganti aku yang membuatkanmu pisang goreng.”
Ah, tak sabar rasanya kuceritakan ini kepada suamiku yang tentu hanya berdeham tanpa ekspresi.
***
Di hari-hari selanjutnya, di teras itu akan tampak aku dan Mak Ndari, dipisahkan meja bundar bertaplak rajut, penuh oleh kudapan dan minuman hangat. Mak Ndari tetaplah Mak Ndari yang lebih suka diam. Akhirnya akulah yang banyak bercerita. Tentang anakku yang beranjak remaja. Tentang resep baru yang kutemukan di majalah wanita. Tentang masa mudaku yang tentu sedikit kubumbui agar lebih menggigit. Namun, lebih sering aku mengadu tentang suamiku yang terlampau tenang.
“Kenapa dulu menikahinya?” tahu-tahu Mak Ndari bersuara.
Aku terdiam. Jawaban pertama yang terlintas adalah karena cinta. Entah kenapa aku merasa bukan itu jawaban yang dicarinya.
“Seperti apa cintamu untuknya? Ada cinta yang meledak-ledak. Membuatmu hidup hingga membakarmu hidup-hidup. Ada cinta yang hening. Membuat hidupmu tenang sampai menenggelamkanmu dalam-dalam.”
“Mak sudah lama hidup sendiri? Pernah jatuh cinta dan hidup bersama seseorang?”
Dia menyeruput tehnya. “Aku berhenti jatuh cinta. Kuputuskan hidup dalam sepi. Kau kira kau beruntung. Punya anak dan suami. Tapi apa jadinya kalau suatu hari kau terbangun dan mereka tak lagi ada di sisimu. Kau pun sadar, selama ini kau sendiri, tak pernah benar-benar memiliki seseorang untuk selamanya.”
Aku menelan ludah membayangkannya. Kutatap bola matanya yang sendu. Ada kenangan berenang-renang di sana. Apa dia pernah mengalami kehilangan yang terlampau besar? Siapa yang melukainya sedalam itu?
“Mak tidak takut hidup sendiri?”
“Kita lahir sendiri. Mati juga sendiri. Mereka yang ada di sekeliling kita diciptakan untuk pergi suatu hari nanti. Jadi apa gunanya hidup bersama seseorang? Lebih baik sendiri sejak awal.”
“Dulu aku sepertimu. Sebentar lagi kau yang akan sepertiku,”
Matanya mengunci tatapanku. Binarnya mengilat, seakan dipulas lapisan kaca hitam yang lama-lama meleleh. Meluber ke mana-mana, menularkan kesedihan. Tahu-tahu kudapati tanganku, bahuku, rambutku, semuanya diselimuti selaput bening kehitaman. Lama-lama mengerumuniku dalam hitam sebenar-benarnya.
Seketika aku meronta, cepat-cepat keluar dari sana. Kukibas tangan berkali-kali, berusaha menghilangkan selaput yang membungkusku tadi. Kulihat suamiku baru turun dari mobil. Langsung saja kupeluk dari belakang. Kuhirup wanginya dalam-dalam. Awalnya dia meronta, tapi pelukanku yang makin mengunci tubuhnya membuatnya pasrah.
“Kenapa kamu?” tanyanya tenang. Dan aku menangis sejadi-jadinya.
***
Tak lagi kuinjakkan kaki ke rumah itu. Bahkan kupercepat langkah tiap melewatinya menuju pasar. Mak Ndari pun kembali mendekam dalam kesendiriannya. Namun, ucapannya seperti bibit kanker yang tumbuh di jiwaku. Kuperhatikan anak perempuanku. Semakin besar, semakin sering dia keluar bersama teman-temannya. Mungkin tinggal menunggu waktu sampai kehidupan benar-benar  merenggutnya dariku. Suamiku, yang tak pernah alpa mengecup keningku tiap berangkat kerja, hanya tertawa saat kuberitahu ketakutanku kalau dia pergi tak kembali lagi.
“Kau ini,” dia hanya mengusap rambutku dan mengecupku lebih dalam beberapa kali. Aku cuma berani menangis di dalam dada, tak ingin membebaninya dengan sulur sepi yang makin rimbun di kepalaku. Kurasa Mak Ndari berhasil membenamkan benih ketakutan ditinggalkan. Kini aku tak tahu bagaimana menebas habis itu semua.
Kupandangi punggung suami dan anakku yang menjauh setiap pagi. Sepanjang hari aku disiksa detik jam yang berputar, bertanya-tanya apa mereka akan pulang. Aku cuma memikirkan kepergian dan ditinggalkan; tentang sepi dan sendiri.
“Kau benar-benar setakut itu kalau aku tidak pulang?” tanya suamiku di sela pelukku. Kutatap matanya. Jernih tanpa prasangka; membuatku berpikir, apa dia tidak takut kalau suatu hari aku akan meninggalkannya? Bahwa bisa saja aku yang pergi dan dia hidup sendiri?
Kulepaskan pelukan dengan hambar, membiarkannya beranjak ke kamar mandi seakan tak terjadi apa-apa. Kulihat pula anak perempuanku. Keduanya melesat makin cepat. Punggung-punggung mereka menjauh. Tiap kali kuulurkan tangan untuk meraih mereka, seperti makin lebar bentangan jarak itu. Untuk pertama kalinya aku merasa kosong. Sepanjang malam aku tak berani memejamkan mata, karena tiap kali kulakukan itu, aku melihat Mak Ndari menatapku. Dia benar. Sebentar lagi aku akan menjadi seperti dirinya. Menua dalam sepi.
Kami berpapasan lagi suatu pagi. Mak Ndari membuang sampah di depan rumah dan aku hendak ke pasar. Mata kami bertautan, menghantarkan dingin yang membuat bulu kudukku meremang. Sayu mata penuh kesepian itu bersiap mengisapku.
Aku bergegas berbalik arah, tak menoleh lagi. Dengan napas terengah, tanganku gemetar membuka pintu. Aku disambut bayangan sendiri di pantulan jendela depan. Bayanganku tampak lebih tua dengan rambut kelabu yang digelung rapi serta baju lusuh. Ia tersenyum dengan tangan terulur. Bola matanya berpendar. Mengilat kelam, siap tumpah dan menyambar tubuhku—menyelimutiku dalam sepi.
Aku segera menelepon suamiku. Menyuruhnya berhenti kerja. Pulang detik ini juga dan tidak pergi-pergi lagi seterusnya. Ah, juga anak perempuanku. Dia harus tetap tinggal di sini, menghabiskan umurnya bersama ibu yang dia cintai.
Kau lihat itu, Mak Ndari? Aku tak akan jadi sepertimu—seorang perempuan sepi yang tinggal di ujung jalan.
***
GM, 15-17 April 2014
Ditulis dalam kenangan sepupuku, alm. Devi Hardinata
dimuat di Tabloid Nova no.1374/XXVII 23-29 Juni 2014

Tidak ada komentar: