Dimuat di Majalah Good Housekeeping edisi November 2014
Tanganku ragu membuka pintu berhiaskan poster Ben 10 itu dan hiasan
gantung kayu bertulis Nizam’s Room.
Kuusap wajahku beberapa kali sampai tak ada air mata tersisa lagi. Kupasang
senyum terbaik yang kupunya. Kusuguhkan hanya wajah bahagia padanya.
“Belum bobo, sayang?” sapaku.
Nizam menatapku dari balik selimut. Binar sepasang mata, senyum yang
merekah, dan uluran tangan memohon pelukan, semuanya kurekam erat-erat. Itulah pemandangan yang
mengusir semua lelah dan menyirami hatiku dengan asa. Nizamlah yang membuat
hidupku jauh lebih berharga sepeninggal mantan suamiku.
“Bunda kok baru pulang jam segini?”
“Maaf ya. Kamu nungguin Bunda?”
Nizam mengangguk cepat beberapa kali. Pipi gembilnya naik turun mengikuti
irama kepala. Langsung kupeluk dia dan kuserang dengan ciuman bertubi-tubi di
seluruh wajahnya. Nizam terkekeh kegelian dan meronta-ronta. Kuhirup habis
wangi tubuhnya seperti pecandu yang mengisap bakaran daun kanabis.
“Bunda diantar sama Om Denis?” tanya
Nizam polos. Sejenak aku menatapnya sembari menimbang apakah harus mengatakan
yang sebenarnya. Baiklah. Jujur saja. Aku pun mengangguk cepat.
“Kenapa Om Denis nggak mampir ke kamar
Nizam dan bacakan dongeng?”
“Om Denis harus buru-buru pulang. Sudah
malam, kan?”
aku melirik ke arah jam dinding. Jam sembilan lebih sedikit.
“Bun, kapan Om Denis jadi papa Nizam?” ujarnya
tiba-tiba. Pandangannya mengunci mataku. Sorot itu mampu membendung niatku
untuk berbohong. Aku tak sanggup mendustai sepasang mata malaikat di depanku.
“Teman-teman Nizam di sekolah bilang Bunda akan menikah sama Om Denis. Nizam akan punya papa baru. Kapan, Bun? Masih
lama ya?”
Sepasang mata itu langsung menyayat hatiku. Aku langsung memeluknya.
Diam-diam air mataku merembes perlahan.
“Nizam mau punya papa sebaik Om Denis,
Bun. Cepat nikah ya, biar Om Denis bisa pindah
kemari. Jadi Bunda sama Nizam nggak kesepian lagi.”
Sekuat apa pun aku menahan suara, isakan itu sanggup menyelinap keluar
dari bibirku. Air mataku semakin deras mengalir. Kupeluk Nizam makin erat.
Bocah lima
tahun itu sedikit meronta, tapi ia seakan paham, akhirnya memilih diam.
“Bunda, kenapa nangis? Nizam nakal, ya?” tanyanya sambil mengelus
punggungku.
Tenggorokanku tercekat. Tak ada kata yang keluar. Seharusnya padakulah
Nizam mencari ketenangan. Namun,
aku seakan mencari kekuatan pada pelukan rapuh ini. Nizam terus mengelus
punggungku. Kubiarkan malam yang makin tua di sana membawa bayang-bayang Denis menjauh.
Biarkan aku berbagi hangat sejenak di ranjang Nizam.
“Cup cup, Bunda, jangan nangis ya. Cup cup,” ujar Nizam polos.
***
Parsel buah di tanganku bergetar hebat. Tanpa banyak bicara, Denis mengambilnya
dariku dengan satu tangan, lalu tangan lainnya menggenggam tanganku. Bisa
kurasakan perbedaan kedua kulit kami. Tangannya besar dan hangat. Seperti
selimut, tangan itu menangkup penuh pada tangan mungilku yang dingin. Ia pasti
bisa menyadari badai yang bergemuruh di dadaku.
“Operasi jantung ibu berhasil. Ibu akan baik-baik saja,” hiburnya. Siapa
yang tengah dia hibur? Dirinya sendirikah lantaran sang ibu akhirnya lolos dari
maut? Atau menghiburku yang sejak beberapa hari lalu tenggelam dari rasa
bersalah?
“Kamu yakin sakit jantung ibu nggak akan kambuh kalau melihatku?”
“Tadinya kupikir begitu. Tapi ibu sendiri yang ingin ketemu kamu.”
Aku menghela napas perlahan. Ini di luar dugaan. Ibu akhirnya mau
menemuiku setelah drama panjang kami beberapa waktu lalu. Aku tak bisa menebak
apa yang ada di kepala ibu.
“Ibumu nggak pernah suka sama aku,” jawabku lirih.
“Ibu cuma belum kenal sama kamu. Selama ini aku coba bujuk ibu. Mungkin
setelah operasi itu, pikiran ibu jadi lebih terbuka. Siapa tahu ibu merestui
kita?”
“Ibu mana yang rela anak bujangnya menikah sama janda cerai beranak
satu?”
Denis tersentak menolehku. Ting!
Denting lift terbuka dan percakapan kami berhenti sampai di sana. Sejenak aku ragu keluar dari sana untuk bertemu ibunya.
Namun,
tangannya menarik pelan. Seakan-akan hangatnya enggan melepasku pergi.
Ibu duduk di kursi roda. Perawat tengah membawanya berjalan-jalan ke
taman rumah sakit. Duduknya tenang dengan tiang infus menjulang di belakang.
Wajahnya nampak segar. Mungkin darah sudah mengalir sempurna di tubuhnya berkat
operasi itu. Namun tetap saja, tak ada senyum yang menyambutku. Hatiku langsung
dicengkeram perasaan dingin. Kami semua sejenak memandangi pepohonan dan air mancur
dalam diam. Kulirik ibu. Wajahnya tenang, sesekali terpejam. Tak ada tanda
beliau akan menyerangku dengan kata-kata pedasnya seperti terakhir kami
bertemu.
“Den, tolong belikan ibu air putih. Kamu juga mau?” tawarnya padaku. Aku
tersentak kaget dan menggeleng cepat. Denis sedikit ragu, tapi aku tersenyum.
Kuyakinkan kalau kami berdua akan baik-baik saja di sini, walau sebenarnya
diriku sendiri meragukannya.
Aku melihat punggung Denis yang menjauh. Ada keheningan yang tumbuh di antara aku dan
sang ibu. Aku memberanikan diri menatapnya.
“Kamu masih ingat terakhir kita ketemu?” tanya ibu seakan tahu aku tengah
mengamatinya. Aku mengangguk. “Denis bilang sama ibu kalau dia mau nikah sama
kamu.”
Kata-kata itu membawaku kembali pada pertemuan minggu lalu. Aku, Denis,
dan sang ibu duduk melingkar di meja makan. Ibu memang sudah lama tak
menyukaiku, tapi hari itu Denis sanggup membujuknya untuk makan malam bersama,
dengan satu tujuan.
“Bu, aku dan Ayu sudah setahun lebih menjalin hubungan.” Denis tiba-tiba
bersuara. Mata ibu membeliak gusar seakan bisa menebak ke mana arah pembicaraan
ini. “Di usia kami, rasanya pacaran terlalu lama pun tidak ada gunanya. Aku
ingin menikahi Ayu, Bu. Kuharap ibu merestuinya.”
“Tidak,” jawab sang ibu cepat.
“Bu,” Denis berusaha membujuk.
“Ayu. Lebih baik kamu pulang sekarang. Anggap saja pembicaraan ini tidak
ada.”
Aku menatap kedua orang di depanku
bergantian. Dadaku mendadak sesak. Sorot mata itu tajam menguliti hatiku.
Napasnya memburu menahan geram. Sebenci itukah
dia padaku? Salahku apa padanya?
“Denis, kamu ganteng. Sukses. Pintar. Apa perlu ibu yang mencarikanmu
istri?” tanyanya sambil tetap melihatku. Aku mendapati bayanganku sendiri pias
di sepasang bola mata yang nyalang itu. “Ayu bukan perempuan yang tepat buat
kamu.”
“Kenapa saya tidak pantas untuk Denis, Bu? Apa karena saya pernah menikah
dan punya anak?” entah dari mana kudapatkan keberanian itu. Denis meremas
lembut tanganku, seakan memintaku tenang. Namun, ibu telanjur menyulut sesak
yang kutimbun menjadi kobaran api yang tak terkendali.
“Saya cinta Denis. Denis cinta saya dan dia juga mau menerima Nizam, anak
saya. Apa yang salah dengan itu?”
“Salah. Ibu nggak mau punya mantu janda.”
“Apa hanya karena status janda itu ibu mengorbankan kebahagiaan Denis?”
“Tahu apa kamu tentang bahagianya Denis? Ibu yang membesarkan dia. Kamu
baru setahun kenal dia sudah berani menceramahi ibu? Seperti ini perempuan yang
mau kamu nikahi, Den?”
“Bu, tenang. Ingat, ibu ada sakit jantung.” Denis mengelus tangan ibunya,
sementara tangan lainnya masih menggenggamku erat.
“Pokoknya sampai mati, ibu nggak mau
punya mantu Ayu.” Dalam sekejap, amarah itu merobek jantungnya. Ibu terkesiap
memegangi dada. Di tengah usahanya menarik
napas yang begitu menyakiti jantungnya, ia masih menatapku penuh benci.
“Ayu,” suara ibu memanggilku kembali dari kenangan menyakitkan itu. Aku
menoleh dan berusaha tersenyum. “Ibu bukannya benci sama kamu. Kamu anaknya
baik. Cantik. Denis juga cerita bagaimana usaha
kamu membagi waktu antara kerja dan anak. Kamu perempuan yang kuat. Tapi untuk
menjadi istri Denis,…”
Aku diam menanti kata-kata ibu selanjutnya. Jantungku berlompatan tak
keruan, tapi berusaha tersenyum.
“Ibu memohon dengan sangat,” ujarnya lirih. “Tinggalkan Denis. Tolak
lamarannya. Ibu nggak akan bisa ikhlas kalau mantu ibu seorang janda beranak satu.
Ibu rela melakukan apa saja. Kamu boleh minta apa saja, asal tinggalkan Denis.
Jangan menikah dengan Denis.”
“Kenapa, Bu?”
“Apa salah kalau ibu ingin punya mantu wanita lajang? Apa salah kalau ibu
tidak ingin Denis terjebak dalam tanggung jawab besar membesarkan anakmu? Denis
belum siap untuk itu. Kamu tahu apa cibiran orang
tentang janda? Menurutmu apa Denis layak diperlakukan seperti itu?”
Hatiku teriris habis tak tersisa mendapati kata-kata itu. Sehina itukah
aku di mata ibu? Aku tertunduk menyembunyikan mata yang berkaca-kaca.
“Janji sama ibu, Ayu. Jangan nikahi Denis.” Ibu berujar lirih. Nadanya
penuh iba dan ratap. Sebagai sesama ibu, aku berusaha mengerti keinginannya
untuk membahagiakan putranya. Aku punya anak. Aku pun ingin anakku bahagia.
Namun, bahagia atas nama siapa?
Denis datang dengan dua botol air mineral di kedua tangan. Dua botol itu
seperti aku dan ibu. Sama-sama membawa kebahagiaan untuk Denis, tapi hanya satu
yang bisa dipilih. Aku atau ibu. Denis menatap kami cerah seakan tak sanggup
menyembunyikan girang melihat kami bersanding dalam tenang. Namun, tahukah dia
apa yang baru kami bahas?
“Ayu, ibu mohon. Janji sama ibu.”
“Iya,” jawabku lirih menyerah. “Saya janji. Saya tidak akan menikahi
Denis.”
***
Aku melangkah gontai menuju ruang tengah. Ada
Nizam tergolek nyenyak di sofa di depan televisi. Inah, pembantuku, buru-buru
menghampiri seakan takut aku meledak marah.
“Dek Nizam katanya mau nungguin ibu pulang,” ujarnya takut-takut. “Tadi
sudah saya suruh tidur di kamar, tapi nggak mau.”
“Nggak apa-apa,” jawabku lemah. Aku menghampiri tubuh mungil itu.
Tangannya menggenggam selembar kertas yang hampir lunglai jatuh ke lantai.
Perlahan kuambil kertas itu, berharap Nizam tidak terbangun. Hatiku mencelos
kala kulihat yang tertera di sana.
Sebuah lukisan krayon warna warni. Sebuah rumah dengan pagar kayu dan
diapit pohon apel besar. Di depannya ada tiga orang.
Masing-masing dinamai Nizam, Bunda, dan Ayah Denis. Aku langsung membekap mulut
menahan suara terisak. Hatiku tercabik-cabik kecil. Perihnya menjalar sampai ke
ujung kepala.
“Bunda?” Nizam seperti menyadari kedatanganku. Buru-buru
kuhapus air mata yang siap jatuh. Sepasang mata itu mengerjap tanpa dosa, lalu
buru-buru ia memelukku. “Gambarnya jelek ya Bunda? Besok Nizam gambarin yang
lebih bagus. Nanti Nizam gambarin dua. Satu
ditaruh sini, satu lagi ditaruh rumah Om Denis
ya? Terus kapan Nizam bisa panggil Om Denis papa?”
Celotehan itu menderas, sederas pilu yang mencacah kepalaku. Aku hanya
bisa memeluknya. Lagi-lagi aku mencari kekuatan pada tubuh mungil yang
seharusnya kulindungi. Air mata jatuh satu-satu, terus menerus beriringan
membasahi punggung Nizam.
“Bunda, Nizam nggak sabar punya ayah seperti Om
Denis.”
Oh anakku,… maafkan bunda, sayang.
***
GM, 5 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar