Jika
ada yang bertanya mana yang lebih dingin, udara malam atau hawa hatinya, Ros
akan meraba dadanya. Ada gunung es tumbuh di sana. Sekarang pukul tiga dini
hari. Yu Jum terkantuk-kantuk di meja kasir. Pendar papan iklan bir berneon
merah-hijau di beranda wisma, tengah meregang kelip terakhir sebelum
benar-benar padam. Tamu kelimanya di hari ini baru pulang dengan langkah
terseok, setengah mabuk. Ros keburu lupa wajah tamunya itu. Baginya, lelaki
selalu tak lebih dari sosok tak berwajah.
Termasuk
lelaki itu, yang seharusnya dihukum karena telah mendinginkan dadanya. Dari
cerita masa kecilnya, lelaki itu suka sekali pada rumpun kembang ros yang
berayun-ayun di bawah jendela kamar tidur ibunya.
Masih nunggu tamu, Ros? Yu
Jum menaikkan resleting jaketnya tinggi-tinggi. Kejar setoran ya. Jangan lupa, sisakan buat yang lain.
Tak
mengacuhkan Yu Jum, matanya menatap neon
box sebuah merk bir. Suaranya
terdengar berderak-derak nyaris padam. Angin menjelang fajar semakin kejam.
Jalanan di depan pintu wisma mulai sepi. Denting penggorengan tukang tahu tek
beradu dengan sayup musik dangdut. Bahkan di masa seharusnya dunia terlelap,
kehidupan masih berdenyut. Kalau hatinya sudah sedingin ini, biasanya Ros
berlari ke pinggir jalan dan menatap ujungnya. Ada harap yang menggelembung,
kalau-kalau lelaki itu––ayahnya––pulang.
Ke mana ayah?
Kapan pulang?
Kenapa ayah pergi tidak mengajak kita?
Ros
kecil yang cerewet. Kata orang-orang dulu, bibir Ros serupa butir anggur ranum,
menggemaskan. Kata orang-orang kini, bibir Ros layak disebut berpulas anggur
merah, memabukkan. Bibir itu Ros warisi dari ibu, yang sepanjang ingatannya
pula, tak pernah ia dapati bibir itu banyak berbicara.
Tak
sekalipun Ros tahu apa ayahnya kurus atau tambun. Berkumis atau berjenggot.
Beraroma kretek atau wangi parfum murahan. Yang ia tahu, ayah tak pernah. Kadang
Ros berharap ibu sama cerewetnya seperti Yu Jum, yang selalu mengurusi hidup
orang hingga ia tak perlu meraba sosok ayahnya dalam sosok lelaki yang berganti
lebih cepat dari guguran daun meranggas.
Minggu depan wisma tutup, Ros, Yu
Jum menyalakan rokoknya. Dapat uang kamu
nanti. Tiga juta.
Derak
tembakau di kiri Ros beradu dengan pendar neon
box yang menyedihkan. Yu Jum ikut-ikutan menatap ke arah yang sama.
Apa rencanamu, Ros?
Pulang, Yu.
Ke mana? Memangnya punya rumah untuk pulang?
Ros
diam.
Gang ini mau disapu, Ros. Biar bersih,
katanya. Memangnya kita sampah ya, Ros? Padahal mereka menyebut kita perempuan
harapan, yang masih bisa hidup lebih baik walau ditukar dengan uang tiga juta, asap
embusan rokok Yu Jum melayang-layang lebih jauh. Kasihan papi-papimu nanti, Ros. Pasti mereka kangen kamu.
Dada
Ros makin dingin. Entah berapa lelaki yang ia senangkan, tapi tak sebanding
untuk menambal lubang di dadanya. Tak ada ayah yang bermain ayunan bersama,
mengantarkannya ke sekolah, menepuk manja kepalanya. Menyelimutinya saat demam,
memarahinya saat pulang pacaran terlalu malam.
Mungkin
karena itu Ros lebih suka tamu lelaki yang lebih tua, yang sebenarnya lebih
pantas ia sebut ayah. Seluruh penghuni wisma maklum itu. Mereka selalu
menyodorkan lelaki setengah baya ke pangkuan Ros untuk disenangkan, berharap
Ros juga bisa menyenangkan hatinya sendiri.
Tiap
ada lelaki masuk ke wisma, melewati pintu yang dinaungi neon box bir itu, asa di dadanya menyerupai balon. Mengembang
besar. Namun, Ros belajar sejak lama tentang cara lelaki menatap dirinya.
Mereka yang datang tak pernah menatapnya penuh rindu, sebagaimana dirinya
merindukan ayah. Ia hanya dianggap kembang, untuk dihirup wanginya, menghias
sepi, lalu ditinggalkan bila waktunya tiba.
Dingin
di dadanya menjadi-jadi. Ros tinggal menunggu hari di mana hatinya benar-benar
mati. Persis wisma ini. Mirip neon box itu.
Aku pengin ketemu ayah, Yu.
Di mana dia? Ayahmu bahkan sudah pergi
sebelum ibumu tahu dirinya hamil. Kamu lahir di sini, besar di sini, cari makan
juga di sini. Gang ini boleh disapu, Ros, tapi ini kampungmu. Ibumu dulu
kembang di sini. Sekarang kamu juga. Buat kita, inilah rumah. Mau ngapain
ketemu lelaki itu lagi?
Ada
skenario di kepalanya kalau ia bertemu ayah. Pertama, ia akan marah sebesar-besarnya.
Bagaimana bisa ayah sekejam itu, meninggalkan anak perempuannya seorang diri,
tanpa membekali pengetahuan tentang hidup. Bagaimana caranya naik sepeda.
Bagaimana mengerjakan PR matematika. Bagaimana menghadapi teman sekolah yang
centil. Bagaimana membedakan laki-laki yang benar-benar baik dari sekian banyak
lelaki yang tampak baik.
Lalu
ia akan menangis. Air matanya berjatuhan persis hujan di Desember. Segala momen
yang hilang akan ia tangisi. Bukankah lelaki lemah pada air mata wanita? Ayah
akan semakin sedih hatinya, lalu memeluknya. Maka, gunung es di dadanya akan
pelan mencair, sehingga airmatanya menjadi air bah yang menenggelamkan mereka
berdua.
Selanjutnya,
Ros akan bercerita. Tentang luka di lututnya karena terjatuh saat belajar
sepeda sendiri. Tentang pacar pertama yang diam-diam menciumnya di atas becak
selepas nonton dangdut di kampung sebelah. Tentang ibu yang tak pernah berhenti
menangis tiap tengah malam. Tentang sulitnya hidup perempuan yang bertahan
seorang diri. Tentang lembar rupiah yang cepat menguap entah menjadi apa.
Tentang tamu pertama yang menaiki tubuhnya, dengan dengus napas seperti kerbau
mengamuk, tapi tak juga Ros bisa ingat seperti apa wajahnya. Tentang dingin di
dadanya, yang tak bisa dihangatkan oleh lelaki yang silih berganti
menghangatkan ranjangnya di wisma.
Sampai
tiba akhirnya Ros memaafkannya, karena toh ia telanjur mencintai ayahnya.
Bukankah cinta pertama seorang perempuan adalah ayahnya, dan konon cinta
pertama itu takkan mati?
Kalau wisma ini tutup, kita bagaimana ya
Ros?
Ya pindah. Pulang ke kampung, buka warung
atau apalah.
Ngomongmu sudah seperti Walikota saja.
Ros
membalikkan badan. Tubuhnya mendadak begitu lelah. Sendi-sendinya mulai
berlepasan, entah karena tamu terakhir membolak-balik tubuhnya seperti adonan
panekuk setengah matang atau karena tak ada lagi tenaga untuk berpikir. Derak neon box itu kini lebih cepat, tapi
sekaligus melemah.
Pulang, Yu. Aku pengin pulang.
Pet!
Mata
Yu Jum dan Ros bertautan tepat saat neon
box itu padam, seakan menandai usainya kehidupan di sebuah lekuk jalanan
yang disesaki wisma-wisma penuh kembang yang wangi, yang tinggal menunggu hari
untuk hilang.
***
Ros
menutup berkasnya sembari menghela napas. Setengah mati dia berusaha
mengabaikan sorot mata dari ujung ruang tunggu. Padahal dia sudah berpakaian
teramat sopan. Kemeja lengan panjang dan pantalon hitam. Pagi tadi dia malah
menghabiskan setengah jam hanya untuk memutuskan apakah rambutnya diurai atau
digelung. Mana yang terlihat tak terlalu “mengundang”. Namun, prasangka buruk
memang selalu lebih mudah dilakukan.
Mantan “itu” ya?
Nyari dana katanya. Buat LSM tempatnya sekarang
kerja.
Sekalian jualan?
Ngawur!
Sayang sekali, padahal cantik.
Jangan-jangan masih terima order.
Kalau sama aku, dia mau nggak ya?
Wani piro kowe, Mas, hahaha?
Pagi
tadi, sebelum Ros tiba di kantor institusi swasta yang konon mengajaknya
meeting untuk urusan pendanaan, Ros melewati gang itu. Jalanan di sana tak lagi
sama ramainya. Lokalisasi itu memang resmi ditutup. Gang yang dulu begitu hidup
kini mati. Kembang-kembang yang dulu tumbuh merekah, dicabut paksa kemudian
mati. Atau tertatih-tatih mencari tanah, untuk kembali menancapkan akar di
tanah lain yang masih sudi menerimanya.
“Mbak
Ros ini mantan penghuni gang ya? Sekarang kerja di LSM pemberdayaan perempuan?”
tanya pimpinan itu dengan sorot menyelidik. Tadinya Ros kira, begitu masuk
ruang pimpinan, dia terbebas dari tatapan menghakimi di ruang tunggu. Sayangnya
tidak. Ros menggenggam tangannya erat-erat.
“Iya.
Saya ditawari kerja di sana.”
“Kalau
mantan penghuni lainnya, pada ke mana, Mbak?”
“Ada
yang pulang ke keluarganya, membuka usaha, pergi ke kota lain, dan ada juga
yang meneruskan profesi lama diam-diam.”
“Wah,
percuma dong lokalisasinya ditutup.”
“Oleh
karenanya, LSM kami membantu mengedukasi mereka, terutama kesehatan seksual dan
kemandirian ekonomi. Bantuan dana dari perusahaan bapak sangat berarti.”
“Angkanya
besar juga ya,” pria itu mengalihkan pandangan dari berkas proposal ke arah
Ros. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Bisa dong kita bahas ini di tempat
yang lebih privat. Kamu tahulah maksud saya.”
Ros
hapal betul itu. Raut wajah lelaki yang mencari persinggahan, bukan rumah untuk
pulang. Dadanya memanas. Kembali menggelegak kenangan tentang ayah yang asing,
tentang ibu yang mati pelan-pelan oleh kesedihan, tentang kembang-kembang lain
yang dicerabut paksa tanpa bisa dicarikan tempat untuk tumbuh merekah indah,
tanpa dipandang sebelah mata.
Dia
perempuan. Mereka perempuan. Apa begitu sulit menjadikan perempuan sebagai
rumah untuk pulang, bukan hanya tempat persinggahan. Bahkan ketika Ros mencoba
jalan yang berbeda, orang-orang di sekelilingnya terus kembali mendorongnya
kembali ke taman yang sama. Taman yang mereka anggap cocok untuk kembang
seperti dirinya.
Termasuk
pesan pendek dari Yu Jum tadi pagi.
Sudah ketemu ayahmu? Kujamin belum. Nggak
usah mimpi-mimpi tentang ayahmu atau hidup benar. Ayo balik. Tak ada ayah, papi
pun jadi. Telepon aku, nanti kukasih tahu alamat hotelnya.
“Bagaimana,
Mbak Ros?” tanya lelaki itu sekali lagi.
Ros
merasakan dadanya ditumbuhi gunung es. Lebih besar. Makin kokoh. Yang terbayang
di matanya hanya pendar neon box
sebuah merk bir yang sekarat, nyaris mati. Mengingatkannya pada diri sendiri
Ros
langsung menarik kembali berkas proposal, dengan sekali sentakan paksa. Wajah
pimpinan itu memerah, nyaris meletus oleh penolakannya. Ros tak menoleh ke
belakang. Sudah lama dia menyerah akan masa lalu yang lebih sulit dihapus
ketimbang sebuah tato atau tanda lahir. Apapun yang dia lakukan, mereka akan
selalu memandangnya sama.
Maka,
kalau Ros tak bisa menemukan rumahnya untuk pulang, maka biar dia yang
membangunnya sendiri.[]
Catatan: Karena miskomunikasi, cerpen ini dimuat ganda di majalah Femina no.12/XLIII (edar 21-27 Maret 2015) dan tabloid Nova no.1412/XXVIII (edar 16-22 Maret 2015). Bukan sesuatu yang membanggakan karena pemuatan ganda adalah kesalahan besar. Masalah pemuatan ganda ini sudah selesai antara aku dan kedua media yang bersangkutan. Lihatlah dari sisi positifnya. Lebih banyak orang yang membaca cerpen ini. Semoga bermanfaat.
1 komentar:
Mba ini bagus banget, aku nangis bacanya. Menangisi teman teman yang seperti Ros, yang seperti kita, seharusnya punya rumah.
Posting Komentar