Powered By Blogger

Senin, Juni 06, 2011

Sepotong Rindu

Malam selarut ini. Dingin diantarkan oleh hujan. Kehangatan pun dinanti. Teguh cuma duduk sambil termangu-mangu memandangi sisa pekerjaannya. Letihnya menggunung, sedari pagi berkutat dengan mesin dan oli. Ada sebongkah kerinduan memeluk batinnya. Detik-detik terus berlalu. Sepuluh menit lagi jam berdentang sebelas kali. Telepon berdering memecah keheningan yang diciptakan malam. Teguh setengah berlari meraihnya. Berdoa semoga yang dirindukannya merasakan kerinduan ini.

“Halo?” Teguh menyapa penuh harap.

“Teguh ya? Ini ibu, nak. Bagaimana kabarmu? Sehat? Sudah makan? Lalu anak-anakmu, bagaimana Gino, Iin, dan Lisa? Mereka baik-baik saja?” suara serak itu menyerocos.

Teguh menghela napas. Harapannya pupus.

“Kami baik-baik saja, bu, pokok’e sehat semua. Ada apa ibu telepon malam-malam?”

“Lho, ndak salah tho ibu kangen sama anak sendiri. Kamu lagi ngapain?”

“Saya sedang mengurus surat-surat order buat bengkel, bu. Anak-anak sudah tidur,” bohongnya. Ibu pasti senewen bila tahu anaknya duduk di ranjang sendiri di tengah hujan lebat sambil memeluk sepi.

“Rumi? Piyé kabar istrimu?” tanya ibu agak menyelidik.

“Baik-baik saja. Baru saja dia menelepon. Dia sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Saya bangga, bu, punya istri seperti Rumi. Cerdas, cita-citanya tinggi, dan energik,”

“Walah, ibu malah nggak setuju kalau dia kuliah lagi. Terlalu tinggi. Toh dia wanita yang punya kodrat mengurus rumah tangga. Ibu pingin punya mantu yang sederhana, keibuan, pintar masak, dan tinggal di rumah. Rumi terlalu modern buat ibu,”

Teguh kembali diam. Ia sangat malas meladeni ibunya berdebat. Sampai tiga belas tahun pernikahannya dengan Rumi, ibu tetap memendam kekecewaan. Ibu memang tidak terlalu suka Rumi. Untung saja, ibu terus berusaha menerimanya. Walau itu akan memakan waktu lama.

“Kok rasanya hati ibu ini nggak enak. Seperti mau ada sesuatu. Benar kan semua baik-baik saja? Rumi masih sering telepon kamu, kan? Ibu kok jadi takut dia kecantol bule Singapura,”

“Enggak ada apa-apa, bu. Ibu tenang saja. Kalau ada apa-apa, saya kabari.”

Yo wis, kamu istirahat. Ojo kecapekan,”

Inggih,

Teguh memandang foto Rumi yang bersanding dengan pesawat telepon yang gagangnya baru ia letakkan. Rumi memang muda dan cantik. Teguh mendadak merasa tua sekali karena usianya yang terpaut sebelas tahun. Rumi juga pandai. Sekarang ia mendapat tawaran studi S2 di Singapura oleh perusahaan tempat dia bekerja. Memang berat melepaskan istri secantik itu ke luar negeri sendirian. Tapi Teguh tahu, inilah cita-cita Rumi. Pendidikan dan jabatan yang cemerlang. Itulah yang membuat Teguh mengkeret. Bayangkan! Dia cuma lulusan STM. Walaupun dua bengkel di bawah kepemimpinannya, apakah cukup pantas bersanding dengan seorang manajer pemasaran perusahaan ekspor-impor? Teguh malas menjawabnya.

Dia merasa tidak enak membohongi ibunya. Rumi sudah dua minggu tidak meneleponnya. Teguh juga tidak tahu nomor telepon Rumi di Singapura. Rumi menolak memberikannya. Biarlah saya yang menelepon mas, nanti tagihan telepon rumah membengkak, begitu pesannya. Teguh juga bingung kalau anak-anak mulai menanyakan Rumi. Dia tidak terbiasa berbohong. Tapi kini kebohongan mulai akrab dengan bibirnya.

Telepon kembali berdering. Teguh masih mengharap Rumi yang meneleponnya.

“Halo? Teguh ya? Ini Mami,”

Rasanya mata Teguh menjadi berat. Kantuk mulai menyerbunya. Ia dua kali lebih malas menerima telepon dari mertuanya. Mami Rumi tidak kalah cerewetnya dengan ibu. Bila kedua besan itu bertemu, Teguh harus membiasakan telinganya dengan nada berisik.

“Teguh, bagaimana kabar Rumi? Dia belum telepon mami,”

“Rumi baik-baik saja, mi. Dia baru saja telepon saya. Katanya lagi sibuk dengan tugas kuliah. Makanya belum sempat telepon mami. Tapi tadi dia titip salam kangen buat mami,”

“Oh ya? Itu baru anak mami,”

Teguh merasa tengkuknya lelah.

“Kamu sudah siapkan hadiah apa untuk kepulangan dia dua bulan nanti?”

“Belum, mi.”

“Masak Rumi nggak dikasih sesuatu atas kesuksesannya. Mestinya kamu bangga punya istri cerdas seperti Rumi. Dengan kemampuan seperti itu, Rumi bisa mendapatkan lelaki manapun yang dia mau. Kamu harus berusaha menjaga dia, menyenangkan hatinya, melindungi, dan menyayanginya. Jangan sampai dia tertarik pria lain,”

Teguh menghela napas selirih mungkin. Mami memang sedikit tidak suka dengannya. Mungkin di mata mami, Teguh cuma montir yang kebetulan punya dua bengkel lalu berhasil menikahi bidadari berotak cemerlang. Mami juga sedikit cemberut melihat rumah pemberian Teguh yang tidak berlantai dua. Sering pula Teguh merasa mami sedikit meremehkan VW tahun 70annya. Mungkin menurut mami, Rumi lebih pantas menikah dengan orang yang punya rumah mewah lengkap dengan BMW.

“Jangan bilang Rumi, ya. Mami sudah belikan kalian sepasang tiket ke Lombok plus akomodasi supaya kalian bisa berduaan. Bulan madu kedua, gitu.”

Bulan madu? Tawaran ini lebih terdengar seperti pamer kekayaan di telinga Teguh.

“Terima kasih, mi. Mami baik sekali,” pujinya datar.

“Bukan apa-apa. Anggap saja hadiah,”

Teguh meletakkan gagang telepon dengan malas setelah mami mengucapkan selamat malam. Detik ini dia merasa pernikahannya dengan Rumi terasa berat. Ibu sedikit tidak suka dengan “kecanggihan” Rumi, sedangkan mami agak kurang berkenan dengan Teguh yang “konservatif”. Mungkin pernikahan ini salah. Mungkin seharusnya ia menikah dengan Siti, anak pak RT kampung ibunya tinggal. Dan Rumi menikah dengan dokter gigi yang dulu sempat melamarnya.

Hebatnya, Rumi selalu membuktikan kesetiaannya. Tak terhitung eksekutif muda sampai bos bangkotan yang mengejarnya. Namun, dengan bangga ia menunjukkan cincin kawin di jari manisnya. Teguh pun selalu diajak dalam tur kantor atau gala dinner menemani Rumi. Itu usaha Rumi membuat Teguh eksis. Yang terjadi, pria itu malah semakin terperosok dengan rasa mindernya.

Bagaimana bila di sana-di negara yang penuh impian itu-Rumi bertemu dengan pria yang lebih baik? Makmur dalam segala aspek kehidupan. Mungkinkah Rumi berpaling dari cintanya? Bagaimana jika terjadi sedikit perselingkuhan? Apa yang harus dilakukan? Dalam sedetik, Teguh merasa bukan apa-apa.

Malam terus beranjak. Pria itu merasa semakin sumpek. Ia membuka agendanya. Ia ingin menuangkan kegundahannya. Berpuisi atau berprosa. Mungkin terdengar agak cengeng, tapi Teguh tidak tahu harus berujar pada siapa.

Aku ingin Rumi bahagia. Aku cuma berusaha menjadi suami dan ayah yang baik. Istriku wanita paling hebat. Keluarga kami sempurna dan bahagia. Aku justru takut kesempurnaan ini malah mengantarkan pada sesuatu yang cacat.

Rasa kantuk mulai menyeret Teguh untuk bermimpi. Dan kini ia menemukan Rumi dalam tidurnya.

***

Ciuman kecil di pipi itu membuat Teguh tersenyum lega. Dua bulan tepat sejak malam itu, Rumi kini berdiri di hadapannya. Wajahnya lebih segar dan berseri. Rambutnya dipotong pendek dan tubuhnya sedikit berisi. Nampaknya hidup Rumi tidak terlantar di sana. Teguh jadi malu melihat tubuhnya sendiri. Bobotnya susut delapan kilo sejak kepergian Rumi.

“Mas Teguh agak kurus. Pasti susah makan, ya? Atau kangen ya sama Rumi?”

Teguh tersipu sendiri.

“Bunda! Bunda pulang! Bawa oleh-oleh apa?” ketiga anak itu mengerumuni Rumi seperti serombongan lebah yang menemukan sebotol madu.

Rumi membongkar bawaannya. Banyak oleh-oleh yang ia beli. Entah berapa dollar Singapura yang dihabiskan Rumi untuk barang sebanyak itu. Rumi menyodorkan seperangkat perkakas mobil yang disimpan dalam kotak aluminium metalik sebesar boks sepatu untuk suaminya. Gino girang bukan main saat bundanya membawakan discman keluaran terbaru. Untuk Iin dan Lisa, Rumi menghadiahkan sebuah gaun cantik warna hijau yang modelnya berbeda. Tidak lupa dia membawa tasbih wangi untuk bik Iyem, sehelai kain sutra untuk ibu, dan parfum elit buat mami.

“Pasti habis uang banyak ya Rum?”

Rumi menggeleng. “Oleh-oleh nggak boleh dilihat harganya, mas. Pamali,”

Teguh berusaha tersenyum. Kepalanya mulai berdenyut-denyut membayangkan berapa uang yang dihabiskan istrinya. Mungkin itu tidak seberapa untuk penghasilan seorang manajer, tapi buat Teguh? Ia bergidik pelan.

Rumi membereskan baju-bajunya di lemari. Baju kotor sudah ditumpuk di mesin cuci. Perasaannya sedikit lega. Belakangan ini ada kegalauan yang sempat singgah. Ia takut juga kalau Mas Teguh berpaling hati pada yang lain. Setahun studi di luar negeri bukan waktu yang sebentar. Apa saja bisa terjadi. Siapa tahu Mas Teguh kesepian dan ingin mencari hiburan. Perselingkuhan? Rumi terbiasa dengan itu. Lingkungan kerjanya membuat fenomena ini tumbuh dengan subur. Untung saja, Mas Teguh tetap seperti dulu. Tidak berubah. Memang seharusnya dia tidak meragukan kesetiaan Mas Teguh.

Saat meletakkan sweter birunya di bagian lemari paling atas, ada yang jatuh. Sebuah agenda yang diselipkan di sudut atas dekat tumpukan handuk. Rumi tergoda untuk membukanya. Suaminya sedang sibuk dengan anak-anak. Tidak ada salahnya membuka agenda Mas Teguh. Toh mereka suami istri. Tidak sepantasnya ada rahasia di antara mereka berdua.

Rumi tersenyum sendiri. Rupanya di agenda itu tertoreh puisi-puisi singkat sebagai wujud kerinduan Mas Teguh padanya selama Rumi pergi studi. Rupanya suaminya memiliki sisi romantis. Ingin menangis rasanya.

Matanya pun tertuju pada tulisan Mas Teguh yang dibuat tepat dua bulan lalu. Sebuah tulisan yang menohok hatinya.

Aku ingin Rumi bahagia. Aku cuma berusaha menjadi suami dan ayah yang baik. Istriku wanita paling hebat. Keluarga kami sempurna dan bahagia. Aku justru takut kesempurnaan ini malah mengantarkan pada sesuatu yang cacat.

Rumi merasakan matanya basah. Hatinya seakan terimpit. Tulisan ini begitu mengena di batinnya. Ia bertanya-tanya, sedang apakah aku saat Mas Teguh menulis ini?

Deeggg,… Rumi baru ingat. Malam itu dia sedang di Singapura. Dia sedang di sebuah apartemen, di sebuah penthouse kelas elit. Betapa sulitnya menampik undangan dari seorang konglomerat Perancis. Tampan, tegap, muda, modis, energik, dan memiliki sebuah limo pribadi. Belum lagi mata dan sikap yang romantis, pria itu menarik perhatiannya.

Rumi baru ingat. Saat itu nama Mas Teguh tidak ada dalam ingatannya. Pesona pria itu menghapus bayang-bayang suaminya dalam hitungan detik. Belum lagi saat pria itu menggandengnya, membelainya,… Malam itu ia menikmati ciuman dan pelukan pria itu. Siapa namanya ya? Oh ya, namanya Louis. Rumi pun dibawa Mr. Louis ke dalam kenikmatan baru yang belum pernah ia rasakan dengan Mas Teguh. Variasi intim yang mungkin tidak terlintas di benak Mas Teguh. Apalagi saat itu ia benar-benar membutuhkan kasih sayang. Mas Teguh ada di lintas negara yang berbeda. Bisikan setan yang selama ini dihindarinya, akhirnya hinggap dan meresap.

Air matanya meleleh. Berdosakah dia melewatkan malam itu dengan Mr. Louis? Bukankah istri yang baik tidak akan mengkhianati suaminya? Rumi malah berbagi ranjang dengan pria yang baru dia kenal melalui makan malam bisnis. Bagaimana kalau suaminya tahu?

Dari kamar, ia mendengar suara tawa Mas Teguh bercanda dengan ketiga anaknya. Rumi ketakutan. Badannya menggigil. Ia mendengar suara napas yang terhembus lemah dalam rongga tubuhnya,… bergerak pelan di dalam rahimnya.

***

Tangerang, 13 Juni 2003
Pemenang Nominasi Lomba Kreativitas Pemuda 2003. Masuk dalam antologi Yang Dibalut Lumut (CWI, 2003)

Tidak ada komentar: