Jumat, November 23, 2007
My First Translation Job
The editor, Mbak Dharma, assigned me this novel to be translated. Wish me luck, okay!
But then, the big deal is how to express the intimacy scenes in a nice correct Indonesian without being cheezy or obscene... Can anyone help me?
Kamis, November 01, 2007
Aku Cemburu, Sayang...
“Aku cemburu karena aku mencintaimu, sayang!”
Kalimat ini sering sekali meluncur dari bibir seorang pencemburu. Sebuah ucapan yang teramat klise. Bahkan aku juga beberapa kali menjadikannya suatu tameng atau cadar dari sesuatu yang lebih dalam.
Ada orang yang sempat mencetuskan pertanyaan, “apa sih yang ada di otak orang yang terlalu cemburuan? Kenapa selalu ada ketakutan-ketakutan yang sifatnya enggak nyata?”
Apa orang yang cemburuan itu – dalam taraf tertentu – sedang mengalami halusinasi? Dia berhalusinasi, membiarkan ketakutan-ketakutan di otaknya untuk bebas berlarian ke sana kemari, bahkan hampir menjelma menjadi kenyataan,… sehingga dia tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana ketakutan belaka. Apakah orang cemburuan itu sakit jiwa? Tapi bukannya setiap orang memang memiliki – seberapapun tingkatnya – ketidakseimbangan kesehatan jiwa.
Setahuku – dan memang aku bukan seorang ahli – cemburu hanya output dari rasa tidak aman dalam diri seseorang di mana dia merasa tidak cukup layak bersaing untuk mendapatkan perhatian dari orang yang dia sayangi atau setidaknya, dari orang yang dia harapkan untuk memperhatikannya. Panjang yah,…?
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan tentang halusinasi itu. Aku tidak terlalu ambil pusing tentang itu. Aku hanya ingin tahu bagaimanakah menghilangkan segala ketakutan-ketakutan yang makin lama makin menyerap dan mengambil alih akal sehatku.
Kemaren aku sempat belajar Pragmatics sedikit, dan ada yang namanya Illocutionary act, bahwa sesuatu yang diutarakan pasti memiliki suatu maksud dan pesan. Maka ketika kalimat itu meluncur, penerjemahannya adalah :
“Sayang, aku takut kehilanganmu. Aku merasa tidak aman dengan posisiku sekarang. Aku cemburu, bukan karena aku mencintaimu, tapi aku mencintai egoku yang takut kehilanganmu.”
Jumat, Oktober 05, 2007
I'm getting Married !!!
Insya Allah kami akan mengikrarkan janji di hadapan Allah swt
Untuk membangun keluarga Sakinah Mawwadah Wa Rohmah :
Anggun Prameswari
(Putri Pertama Bpk. Soewignyo & Ibu Lilik Kusraeni)
Dengan
Anang Rifai
(Putra Pertama Bpk. Sunardi & Ibu Aning Mardiyati)
Akad Nikah :
Sabtu, 20 Oktober 2007
Pukul 08.00
Di kediaman Mempelai Wanita
Jl. Rungkut Barata I no. 11
Surabaya
Sabtu, 20 Oktober 2007
Pukul 19.00
Di Gedung Serbaguna BKKKS “Tribuwana Tungga Dewi”
Jl. Raya Tenggilis Blok GG no. 10
Surabaya
PS :
Buat mereka yang berkata “Akhirnya!”
Kami pun ingin segera menghela kelegaan yang sama untuk membuka lembaran baru
Buat mereka yang sering memprotes “Kenapa di Surabaya?”
Kami hanyalah anak manusia yang ingin membahagiakan orang tua
Menyaksikan momen sakral di tanah kelahiran
Bersama segenap mereka yang tertitis garis darah yang senada
Kami pun ingin demikian
Tapi terkadang tangan manusia hanya mampu bisa menjulur sepanjang tangan itu sendiri
Bahkan panjangnya tak sanggup merogoh kantong yang sama dua kali
Buat mereka yang tiap kali bertanya “Bagaimana rasanya?”
Sejuta rasa tak cukup tertampung oleh satu kata
Baca saja semua pertanda di wajah kami - Di mata kami yang tak mungkin berbohong
Kami paham bahwa pernikahan adalah taruhan seumur hidup
Dan keyakinan adalah modal yang tak boleh habis
Tak boleh aus
Tak boleh lenyap, bahkan untuk sejenak kedipan mata
Doa kalian adalah karpet merah yang memuluskan langkah kami
Membuka pintu baru yang membentang di masa selanjutnya
Jumat, September 21, 2007
Represi di Hati
Sebenarnya aku ingin dekat
Tapi jarak membentang dua kali saat aku melangkah
Tapi tangan menjadi batu yang menggantung membisu
Sebenarnya aku ingin berbagi kisah
Tapi bibir ini perlahan menghilang tertelan malamnya jiwa
Sebenarnya kau juga menyayangiku
Tapi kita selalu berdiri di dua kutub yang berbeda
Tak bisa saling memahami
Tapi menuntut saling mengerti
Aku hanya ingin mencari di mana titik mulanya
Menguntai benangnya
Sehingga kita bisa saling mulai mengayam cinta
Dedicated to a couple who bravely shared a half of each soul to bring my soul into the world. So many things we’ve been through, but it seemed never enough for us.
PS : I intended to write this poem in English, but somehow I missed the essence. So I write it in Indonesian. Are there any of you who will willingly translate this poem?
Kamis, September 13, 2007
Welcome Ramadhan
I wrote this in the midnight, counting the seconds to welcome Ramadhan month, the holiest and the most precious month for the Moslems. I just couldn’t shut my eyes; quite fresh for writing a new post for my blog.
I just saw several soaps on tv; most of them bring Ramadhan as their main topic, main idea, main conflict of the fight between good and evil. Good and evil fight is such a common theme, if I can’t say it cliché. But, Ramadhan seems to be commercialized. I don’t know is it only me or it is real that Ramadhan is used as a reason for people to ask forgiveness, to dress politely, to show less skin, to be more patient, to do Moslem prayer as whole as it is written in the Koran, to do less crime and bad things, to be more honest to others, and many things. But then, what’s the point if these habits only last 30 days during the Ramadhan. After they leave this month, they just go back into their habits. Ramadhan ends, all the good things that bring merit end. It is cyclical, just a never ending circular movement.
Just seeing a news flash on tv. A group of police officers and pamong praja squad raided an area famous for prostitution. All the commercially sex workers, all of them female, are seized and sent into some kind of rehabilitation institution. The neighborhood is cleaned up from immoral activities. Bottles of alcohol were burnt. The area is closed. Problem is solved. End of story. Then why next year, in the next Ramadhan, they still have to do the same raid to the prostitution area?
I am no saint, as well. My sin isn’t lesser than yours. It is not a judgment for anybody. I am talking to myself, why should I have two steps backward after having a step forward?
Jumat, September 07, 2007
Exes Only Deal with Past, Don't They?
I met my old friend from junior high – her name is Fancy – and for hours we shared about the old days we had together. She came with her boyfriend, Patrick, and when I asked whether he sometimes felt jealous about guys from Fancy’s past.
He replied (or sort of like this ‘cause I don’t remember the exact words) :
“She grew up without my permission, why should I be anxious of that?”
Patrick is right, I guess. I met when he was 19. He was dating since he was 14. In five years, he could meet any kind of girls, involved in any kind of situation, and experienced various kinds of feelings. He couldn’t be blamed of having that.
Then I look into my friend in college, Ayu. The complicated process between her and her present boyfriend (Mr.G) whose ex is Ayu’s best friend since high school (Ms. M), is really an eye-opening experience. I don’t know what Ayu did to cope with the feeling that she meets his boyfriend’s ex all the time. I don’t know what Ayu did to get rid the thought of what happened between Mr. G and Ms. M in their previous relationship – Those kisses, hugs, touches, romantic moments, or any physical intimate contact. I can easily lose my mind if I’m walking in her shoes. But three of them can get along as if there was nothing beyond the relationship. So, why can’t I?
I need a lot of work to make this works, of course. It’s not easy to change the mind set, definitely difficult to totally adjust the system. At least, my boyfriend always tells if there’s any contact with his exes. He always says that Ms. D called, Ms. F sent sms, bla bla bla,… At least, he wants me to know anything about him. He let me to come inside and share his world. Could it be too good to be true?
Selasa, Juli 10, 2007
Stuck Stuck Stuck
This holiday, a thought suddenly popped up in to my mind. I shocked because I mostly think about shallow things, but then my mind said that (quoting the lyric from U2)
“ … stuck in the moment that you can’t get out of it …”
Lalalala,… At the first time, I tried so hard to ignore that thing. But, the more I ignore it, the stronger it becomes. It is a reality that I’m stuck and stuck and stuck.
I am walking on the same spot for over and over again. I can’t find any progress inside of me that I can be proud of it.
Maturity – I’m 22 and I still can’t control my emotion and anger. I’m not passion enough just like the way I act when I was 13.
English Eloquency – I can’t sense any progression after spending 6 semesters studying English literature. It seems that I only pursue the diploma certificate, not the discipline itself.
Cooking skill – I always believes that cooking needs a talent that a person has since he/she was born. No matter how hard I try, how fresh the ingredients, how precise I combine them, there will be no great delicious food I’ve ever made. It is not in my blood! That’s why I disagree about the idea that a woman has to be a great cook.
Path to the bright future – at this point I just can’t see myself in the next 10 years. It is so blurry. I used to have a dream job to be a writer, but it seems that I don’t have enough energy to continue that. Then I tried to set up another dream job. It just turns to be another empty dream that I can’t reach. I even can’t see myself as a fulltime housewife that dedicate my ages to cook, wash, raise the children, shop, and do things the housewives usually do.
Love life – well, dating the same guy for six years, somehow, creates a sense of addiction rather than explosive passion.
Short Notice
So, let me write in English. I do really really really extremely sorry if my grammar is bad, the idea is messed up, or the diction is wrong. Please give me correction, feedback, comment, or just a greeting in the shout box. I would really appreciate every response you give me.
Senin, Juli 02, 2007
Candy - A perspective of 3 men in female’s life
Aku tidak akan membahas detail tentang ceritanya. Tapi membahas tiga laki-laki yang datang dan mengenalkan cinta pada Candy.
Anthony Brown adalah lelaki pertama yang Candy suka, sekaligus lelaki pertama yang membuatnya menangis karena patah hati. Anthony adalah lelaki yang baik hati, ramah, lemah lembut, dan penyayang. Sosok Anthony adalah representasi setiap gadis-gadis kecil di masa kecil mereka yang penuh impian akan pangerang dari negeri dongeng. Anthony merupakan sosok sempurna yang serupa pangerang tanpa cela dengan segala kebaikannya. Setiap gadis kecil memang akan bermimpi untuk memiliki a perfect prince, dan inilah yang digambarkan si pembuat cerita dalam sosok Anthony Brown. Sayangnya, di dalam manga ini, Anthony meninggal karena jatuh dari kuda (kalau di sinetronnya, jatuh dari motor – a little touch of modernization).
Terence Grandchester, dipanggil Terry, adalah lelaki selanjutnya yang datang di kehidupan Candy sepeninggal Anthony. Mereka bertemu di sekolah asrama. Terry ternyata 180 derajat berbeda dari Anthony. Terry adalah sosok pemberontak, bandel, pemarah, dan cuek. Sikapnya ini dipengaruhi oleh trauma atas perilaku ibunya yang sejak kecil meninggalkan Terry sendiri. Terry adalah representasi dari kecenderungan lelaki yang disukai oleh gadis-gadis yang menginjak usia remaja, seperti Candy waktu bertemu Terry. Kebanyakan abege-abege cewek mengaku kalau mereka lebih suka cowok yang sedikit bandel daripada pacaran dengan cowok yang baik hati. Ada unsur tantangan dalam menaklukan cowok pemberontak seperti itu. Apalagi usia remaja adalah pusat di mana segala kenakalan masa hidup berada, jadi masa remaja dianggap akan lebih sempurna bila memiliki partner yang sama tengilnya.
Ini memang bentuk representasi saja dan bukan alasan utama Candy mencintai Terry. Terry memiliki kesedihan yang sama yang Candy miliki setelah ditinggal Anthony; kesedihan yang timbul karena ditinggal orang yang dicintai. Satu sama lain akhirnya mengisi kekosongan di hati pasangannya dan membuat perasaan Candy pada Terry jauh lebih kuat ketimbang perasaannya pada Anthony. Banyak yang menganggap bahwa Terry adalah cinta sejati Candy, walaupun akhirnya kandas. Seorang gadis menolong Terry dari lampu panggung yang jatuh dan kaki gadis itu terpaksa diamputasi. Terry akhirnya lebih memilih menikahi gadis itu dan perpisahan mereka menjadi satu titik yang benar-benar mempermainkan emosi pembacanya. Kesedihannya menjadi berlipat. Candy tidak bisa memiliki Anthony karena Anthony memang meninggal. Namun sekarang, Candy tidak bisa memiliki Terry padahal Terry masih hidup dan mereka sama-sama saling menyayangi.
Ketika Candy terombang-ambing dalam kesedihannya, Albert memang selalu ada untuknya. Albert yang baik hati, selalu menyediakan tempat untuk Candy berbagi kesedihannya, dan dia memang ternyata adalah paman Anthony (adik dari ibunya Anthony), yaitu William Albert Ardlay (di versi Indonesia, Ardlay jadi Audrey). Sejak dulu Albert memang tak pernah membuka jati dirinya karena dia tidak terlalu menyukai ketenaran nama keluarganya dan lebih suka hidup merakyat dan berpetualang. Bahkan, ternyata Albert adalah pangeran yang Candy temui di bukit rumah panti asuhannya ketika dia kecil dulu. Pangeran yang menghiburnya dengan pakaian adat lengkap ala skotlandia plus kilt-nya, bagpipe, dan kalimat kebangsaan di cerita ini : “Little girl, you are much prettier when you smile...” Albert adalah pangeran yang pada awalnya Candy kira adalah Anthony karena kemiripan wajah mereka berdua.
Albert adalah representasi dari sosok yang dicari seorang gadis ketika mulai meninggalkan masa remajanya dan tumbuh menjadi wanita dewasa. Lelaki yang penyayang, bisa mengayomi, dan melindungi, serta bersikap lebih dewasa dalam segala hal. Albert memang selalu ada untuknya sejak sebelum dia mengenal Anthony sampai detik itu dan selalu menghiburnya ketika dia sedih.
Sepertinya penulis memang sengaja memberikan tahap-tahap percintaan yang menggambarkan secara umum bagaimana para gadis di seluruh dunia memilih orang yang mereka cintai. Mungkin sebagian dari kita juga pernah memilih sosok Anthony di masa kecil, sosok Terry di masa remaja, dan sosok Albert di masa dewasa nanti.
Senin, Juni 11, 2007
Surga (bukan) di telapak kaki wanita
Aku membawa ranjang kehidupan di tubuhku
Di mana suatu hari ada dentang nafas
Terdengar di sela lirihnya aliran darahku
Ada surga di tubuhku
Di mana terkadang aku mengutuknya
Karena surga itu bukan aku yang mengecapnya
Ada keindahan terpahat di tubuhku
Di mana indah menjadi bencana
Oleh mereka yang anggap indah hanya pantas untuk diinjak
Aku bangga
Aku mengutuk
Aku diam
Aku bisa apa?
Senin, April 09, 2007
A Boredom Survival Kit
This is a post that have been introduced as an initial writing in my alter language weblog.
Boredom is such a deadly weapon that can slowly kill anybody entrapped inside. It such a daily torture for us – me and other classmates – whenever or lecturers unable to cheer up the atmosphere and make the learning process easier.
Then look at the effect,…
“Great lecturer,… she can freeze the time!”
“… time goes by so slowly … “ – a soundtrack by Madonna, Hung Up.
“ Lend me your sudoku* !”
“… sret sret sret … “ the sound of pen from the diligent student; noting down all whatever the lecturer said.
“h-o-n-e-y-i-m-i-s-s-y-o-u-! Send!”
“Sunny, sunny, apa kabarmu, kabarku baik-baik saja,” – with a thin wire connected to her ears.
“ … miss, how about this point?” another interruption as an icebreaker.
“…ppsst! Ppsst! What did happen last night with your ehem ehem,…” asked one directly to another’s ears.
“ Roasted chicken or fried rice?”
“…zzz…”
“Hey, look at your homework! Haven’t made it yet,… “ – begged with a wink-wink eyelashes.
“hhhrroocck,… zzz,…”
“Huuussh! You see her oversized shirt? She must be staying overnight and wearing her boyfriend’s shirt.”
“…*** - censored.”
Dear lecturers, reality bites… But then, it happens. Some of the statements were taken from actual events; don’t wanna tell you which.
* a numerical mind game that recently being popular among the youth
Rabu, Maret 28, 2007
TravelNote : Purwokerto
Kenapa Purwokerto … ?
- Ayah-ibuku sekarang tinggal di Purwokerto, jadi liburan di sana enggak perlu pusing mikirin tinggal di mana dan makan apa hehe…
- Perjalanan dari Purwokerto itu lebih menyenangkan kalau mampir di Brebes buat beli telor asin yang dinilai-nilai memang lebih valuable karena rasanya lebih masir, asinnya pas, dibuat dari gerusan batu bata merah, secara fisik montok-montok, dan memang lebih murah dari yang dijual di Jakarta. Terus disambung makan sate kambing muda yang potongan dagingnya memang lebih kekar daripada sate kambing di Jakarta yang cenderung seperti daging diet. Belum lagi kalau menyeruput teh poci yang pahit-pahit gimana gitu,… Uuuuh, kenikmatan wong ndeso yang tak ada di kutho.
- Ini big plan-nya. Om Jaya berniat hapus tato. Sebuah tato mawar dan dedaunannya di lengan kiri, yang setia menemani sejak Om itu kelas 3 SMP, kini hendak dicerai. Konon kabarnya, sang Om hendak menjajaki karir baru sebagai seorang Imam di Masjid di kompleks perumahannya. Di daerah Pekuncen (kalo gak salah) dari Purwokerto ke arah Banyumas ada seorang ahli hapus tato yang konon katanya bisa menghilangkan tato tanpa rasa sakit. Daripada disetrika yang jelas bakalan merusak kulit atau operasi plastik yang enggak ramah di kantong, metode ini boleh dicoba.
- Ini rencana sampingan dari kangmasku yang hobi banget dipijat. Di Baturaden ada spot kesukaan kangmasku, yaitu di Lokawisata Baturaden, tepatnya Pancuran Tiga. Di situ dia bisa pijat badan dengan dilulur ramuan belerang, lalu berendam di pemandian air panas (air panas, bukan air hangat!)
- Buat aku ya yang penting dari sebuah liburan atau event apapun, adalah foto-fotonya! (Pasti semua yang kenal sama aku pasti mengamini,… dasar narsis!)
Sebenarnya aku sih enggak terlalu setuju dengan niat Om Jaya buat hapus tato. Dia bilang enggak afdol rasanya jadi Imam di Masjid tapi masih memelihara tato di lengan. Aku sih tidak akan mendebat dari segi religi denga melontarkan kutipan ayat-ayat atau hadis rasul. Aku menganalogikan tato sebagai foto-foto perjalanan hidup si empunya. Dari SMP mungkin sang Om telah melewati banyak catatan kehidupan yang kelam dan penuh kekerasan. Tato itulah saksi bisunya. Tato itulah yang merangkum betapa kehidupannya di masa lalu hanyalah kenangan yang cukup diceritakan tanpa perlu diciptakan ulang. Tato itu bisa menjadi sebuah buku dongeng yang kapan saja bisa menyajikan pesan-pesan moral dari sang ayah kepada anak-anaknya. Tato itulah sebuah reminder agar tetap menjaga hidupnya lurus-lurus saja. Toh, si om masih bisa sholat karena perjalanan air wudhu tak menyentuh area lengan atas. Entahlah, pengetahuan agamaku memang masih teramat dangkal jadi tidak bisa menjustifikasi apapun. Toh itu tato punya si om, mau dibuang, dipiara, atau dikembang biakkan sekalipun, semua di luar wewenangku.
Akhirnya berangkatlah kita ke tempat si ahli hapus tato yang konon bisa menghapus tato tanpa rasa sakit dan cukup dioles ramu-ramuan. Namanya pak Leo. Rumahnya terletak di samping jalan yang berkelak-kelok menanjak yang cukup untuk 2 lajur mobil Tidak pas di samping jalan sih karena untuk mencapai rumahnya kita semua harus jalan kaki di tanjakan curam sepanjang 70 meter. Rumahnya sederhana dengan tanah diplester dan perabotan khas rumah-rumah jawa, dilengkapi dengan 3 motor bebek dan TV flat Samsung 29 Inci.
Tilik sana cek sini, nego beberapa kali, akhirnya diputuskan biayanya sebesar 500ribu dari harga awal 650ribu, di luar obat-obatan yang diminum pasca proses eliminasi tato. Begitu uang diberikan, si bapak Leo ini menyuruh seorang pemuda untuk membeli jarum suntik steril dan obat bius lokal. Si Om terperanjat dengan terbersit satu perasaan tidak enak. Dan benarlah firasat itu. Om digiring ke kamar yang disediakan khusus, disuntik bius lokal, lalu “dirajah” kembali. “Dirajah” di sini maksudnya semua garis dan area di lengan yang telah terkontaminasi oleh tinta tato di-drill lagi dengan jarum khusus berbentuk pipih. Tujuannya untuk membuka pori-pori dan mengangkat tinta yang telanjur mengendap. Ya singkat kata, prosesnya kira-kira seperti membuat tato baru yang sama persis di atas tato yang lama. Meringis, menitikkan air mata, pasrah, menggeliat, U named it and he did it. Dia mengaku rasanya jauh-jauh lebih sakit daripada ketika ia membuat tato. Anak bungsunya yang baru berumur lima tahun dengan setia menunggui bapaknya sembari manggut-manggut nurut ketika Om Jaya mengingatkan agar si adhe untuk tidak mengulangi “kesalahan” yang dia buat. Selesai di”rajah” baru dioles ramuan yang warnanya hitam kental lalu diperban. Selama seminggu, si Om wajib mengkonsumsi sederet obat antibiotik dan vitamin untuk mencegah infeksi. Pupus sudah bayangan si Om tentang proses menghilangkan tato tanpa rasa sakit, cuma dioles ramu-ramuan, ditiup dengan baca-bacaan lalu sembuh. Hahaha Om,… No Pain No Gain dong ach!
Sesampainya di rumah, darahnya terus mengucur. Jadinya seperti prajurit perang yang terluka tembak. Darahnya mengucur cur cur terus. Diperban seperti apapun juga tetap tembus. Jadi kasihan deh,…
Dan besoknya, kita semua berangkat ke Lokawisata Baturaden. Ah, aku suka banget pergi ke tempat yang sifatnya megah. Megah di sini artinya dekat dengan alam dan ketika menatap sekeliling, kita merasa begitu mungil tak berdaya. Lalu di spot Pancuran Tiga si Om mengguyur luka “rajah”-nya dengan air panas yang mengandung konsentrat belerang. Lukanya jadi terlihat gosong dan keriput-keriput. Tuh ada fotonya lagi di salah satu pancuran air panas, bareng sama kangmasku.
Akhirnya kita pulang jam 3 pagi tanggal 19 Maret karena si tante ada reuni keluarga siangnya. Di perjalanan pulang, kita sempatkan dulu sarapan pagi dengan menu seadanya di pinggir sawah ditemani bayang-bayang Gunung Ciremai di kejauahan. Aaaah,… sebuah kenikmatan yang tidak bisa ditemukan di Jakarta. Lahan seluas itu di Jakarta pasti sudah ditawar kontraktor untuk dibangun mal atau ruko.
Agenda berikutnya mau liburan ke mana lagi ya…? Ada ide?
Senin, Maret 05, 2007
Seminggu oh Seminggu...
Sudah ada satu minggu berjalan di semester baru. Semester ini mungkin akan lebih mencekik dari semester sebelumnya yang bikin senewen karena ada satu nilai yang belum keluar. Tapi aku yakin IP semester ini turun dari yang kemaren. Memang ada rasa sesak, tapi waktu itu pernah baca artikelnya Mas Ringgo Agus Rahman. Lupa sih detilnya, tapi kesan yang aku tampak bahwa being smart could be sad… Dosen-dosen pasti pada protes dengan kesimpulan ini. Mas Ringgo bilang ada bagusnya dia tidak terlalu smart jadi dia bisa merasa lebih bahagia karena IP-nya naik dari 2,1 jadi 2,2 tapi temannya ada yang stress berat karena IP-nya terjun
Semester ini banyak mata kuliah berbasis paper. Mungkin jurusan mau menggembleng supaya semuanya sukses di skripsi (Amin!!!). Tapi ada beberapa temen yang merasa tiba-tiba di pundak mereka digelayuti berton-ton beban. Satu paper aja bikinnya setengah hidup, kata salah satu dari mereka. Iya sih. Karena memang lebih asik memelototi layer komputer yang dijejali adegan-adegan dari dvd bajakan yang di dekat kos-ku harganya @6Ribu/keeping (Mahal ya?) daripada deretan huruf yang berbaris lebih rapi dari sekumpulan anak SD yang setiap senin selalu ikut upacara bendera.
Tapi yang bikin aku bahagia adalah aku dikelilingi oleh teman-teman yang “se-aliran”… Hehehe memang tidak bisa dipungkiri di dalam satu kelas bisa didiami oleh anak-anak yang membentuk cluster-cluster yang internalnya dihubungkan oleh benang merah yang diberi nama “kenyamanan”… Nyaman berbicara, nyaman berbagi cerita, nyaman bercanda, nyaman mencontek, nyaman mencela, nyaman meminjam uang, dan nyaman-nyaman lainya,…
Bicara tentang kenyamanan yang menurutku adalah kemewahan itu, aku jadi ingat seseorang. Kakang Prabu-ku ditawari mutasi kerja di cabang baru perusahaannya di Cikarang. Dia langsung desperate mendengar kata Cikarang itu yang sama dengan jauh dari mana-mana, jauh dari
Super malas rasanya. Selesai aku mengetik semua entry ini,… ada tiga tugas menanti dari mata kuliah Research Methodology, Public Relations, dan Scientific Writing. Kalau boleh dibuat analogi nih, hubunganku dengan perkuliahan ini seperti hubungan sepasang suami istri yang dilanda kejenuhan karena telah terlalu lama menikah. Butuh yang namanya bulan madu yang kedua. Dan aku baru mempertanyakan kenapa bangku-bangku kayu di kelas-kelas berhembus pendingin ruangan menjadi begitu akrab dengan kulitku, apa karena begitu lekatnya aku mengencani mereka?
(kalau sok puitis gini, pasti diketawain sama Burung deh,…)